Jumat, 21 Agustus 2009

ULAMA NU DALAM PERGULATAN PILKADA

Oleh : Mursana,M.Ag.*

Pemilihan kepala daerah secara langsung di Kabupaten Cirebon tinggal menghitung hari. Berbagai bentuk kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon Bupati dan wakilnya baik secara terang-terangan maupun terselubung sudah disosialisasikan jauh hari sebelumnya, kendatipun agenda acara yang direncanakan Komisi Pemilihan Umum Daerah ( KPUD ) Cirebon belum di berlakukan. Di sebelah kanan dan kiri jalan sudah tampak berbagai jenis poster, baligho, serta spanduk berisikan tulisan tentang keunggulan kandidat tertentu dan ajakan untuk memilihnya. Bahkan di radiopun setiap saat masyarakat sudah sering mendengar iklan-iklan tentang ajakan memilih calon tertentu. Tidak cukup dengan itu, para calon juga menggunakan beberapa pendekatan kepada masyarakat untuk menarik simpatinya, dari mulai bagi-bagi sembako kepada anak yatim dan janda miskin di Masjid sampai mendatangi ulama Nahdhatul Ulama ( NU ) yang punya pesantren.

Dalam hal yang terakhir ini menimbulkan polemik di kalangan warga NU sendiri. Satu sisi NU harus kembali ke Khithah 1926 bahwa NU bukan organisasi politik atau tidak terlibat dalam politik praktis, di sisi lain ijtihad para Ulama NU yang menetapkan bahwa membentuk imamah atau kepemimpinan adalah wajib hukumnya karena apabila dalam komunitas sosial tidak ada pemimpin, maka akan terjadi cara yang tidak aman, di mana pihak yang lemah akan terinjak-injak pihak yang kuat. Atas dasar ijtihad inilah maka pada hari ahad, 10 Agustus 2008 jajaran pengurus syuriyah dan tanfidziyah NU cabang Cirebon diikuti oleh pengurus MWC se-Kabupaten Cirebon mengadakan musyawarah Alim ulama NU di Pondok Pesantren Ulumuddin Susukan Cirebon yang menghasilkan kesepakatan untuk mendukung calon Bupati incumbent sebagai Bupati yang akan datang dengan berbagai hujjah serta argumen yang rasional. Hadir dalam acara tersebut Ketua PW NU Jawa barat, Ketua LDNU Pusat dan Bupati Cirebon.

NU merupakan organisasi sosial keagamaan Islam terbesar di Indonesia selain Muhammadiyah yang warganya lebih dari tigapuluh juta. Dari jumlah ini cukup potensial untuk meraih suara baik dalam Pemilihan umum maupun dalam Pemilihan kepala daerah langsung. Pantas saja dalam pemilu tahun 2004 lalu beberapa calon presiden menggandeng wakilnya dari tokoh NU. Misalnya Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Yusuf Kala ( Mantan PWNU ), Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi ( Ketua Umum PBNU ), Hamzah Haz ( NU ) berpasangan dengan Agum Gumelar, dan Wiranto berpasangan dengan Sholahudin Wahid ( Ketua PBNU ). Begitu halnya dalam pemilihan kepala daerah dari Propinsi sampai Kabupaten/Kota tokoh NU sangat mendominasi baik sebagai calon Gubernur dan wakilnya maupun sebagai calon Bupati/Walikota dan wakilnya. Hal ini cukup beralasan karena warga NU yang merupakan kaum tradisional menyebar di berbagai tempat dan pelosok, sehingga sangat potensial untuk mendulang suara terbanyak bagi calon tertentu.

Dampak Negatif

Ketika pasangan Damar ( Dr.Djakaria Machmud–PRA Arif ) mendaftar ke Kantor KPUD sebagai Calon dan wakil Bupati Cirebon, nampak para Ulama NU mendampinginya. Begitu juga ketika pasangan Desa ( Drs.H.Dedi S.- Ason S.) mendaftar ke KPUD sebagai calon dan wakil Bupati, terlihat juga para Ulama NU yang berpengaruh di Cirebon menyertainya. Calon dan wakil Bupati selain keduanya juga demikian.

Peristiwa tersebut sebenarnya sangat membingungkan masyarakat awam, mengingat figur para Ulama ternyata pilihannya tidak satu calon saja tetapi berbeda-beda. Ada apa sebenarnya, kenapa para Ulama NU ( sebagai panutan masyarakat ) pilihannya tidak satu saja ? pertanyaan inilah selalu muncul di tengah masyarakat awam. Apabila pertanyaan ini tidak segera ditemukan jawabannya, maka dikhawatirkan dampak negatif terjadi di kalangan masyarakat. Karena bisa jadi dalam suatu komunitas kecil seperti keluarga memungkinkan terjadinya konflik keluarga yang berdampak konflik sosial, karena idola Ulama yang diharapkan oleh masing-masing anggota keluarga itu berbeda pilihannya. Dampak negatif lainnya adalah terjadinya keretakan silaturrahim antar keluarga Ulama dan pesantren akibat Ulama yang satu dukung calon tertentu sedangkan Ulama yang lain dukung calon lainnya.

Para Ulama atau Kyai ( Sunda: Ajengan ) adalah orang yang mempunyai kelebihan yang diberikan oleh Allah sehingga kehadirannya sangat dinanti oleh umat. Dalam masyarakat Kabupaten Cirebon, Ulama merupakan sosok yang sangat dihormati perangainya, didengar nasehatnya, dan dilaksanakan perintahnya. Tetapai apabila figur yang dijadikan sebagai panutan masyarakat itu tidak memperlihatkan al-akhlakul karimah seperti tidak akur dengan saudaranya akibat / ekses dari Pilkada, maka masyarakat juga akan menilai, kalau beliau yang ilmunya tinggi saja begitu apalagi kita masyarakat awam.

Ulama dan Umara

Penyebutan atau penggunaan kata Ulama mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan definisi tentang ulama itu sendiri (Faiqoh : 2003). Di negara Timur Tengah penisbatan ulama diberikan kepada seorang Syaikh atau Mursyid. Di Indonesia sebutan seorang ulama dalam berbagai versi. Di daerah Jawa Ulama disebut Kyai, di daerah Pasundan disebut Ajengan. Sementara di Bali dan NTB disebut Tuan Guru. Secara normatif istilah Ulama diambil dari ayat al-Qur’an. “Sesungguhnya ulama adalah orang yang takut kepada Allah”. Dalam hadits Nabi Saw., disebutkan; “Para ulama adalah pewaris para Nabi.” Kata Ulama menunjukkan makna jamak diambil dari kata ‘aliim; orang yang menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan. Apapun perbedaan definisi seputar ulama, namun pada prinsipnya ulama memiliki pandangan yang sama tentang penyebaran misi Islam. Untuk konteks ulama Indonesia, (Kyai; Jawa), yang memiliki tanggung jawab mensosialisasikan Islam dan membentuk masyarakat yang baik berdasarkan Islam, maka salah satu jalan yang digunakan adalah dengan mendirikan pondok pesantren.

Di Pondok Pesantren itulah seorang Ulama NU dengan ikhlas karena Allah mengajarkan ilmunya kepada para santri, tanpa mengenal lelah. Di tempat itu juga seorang ulama membentuk karakter kepribadian santri agar suatu saat nanti bisa hidup pada zamannya berguna bagi masyarakat dan bangsa yang berasaskan akhlakul karimah.

Sebagai pewaris Nabi, Ulama mempunya tugas yang sangat berat dalam membina umat ini. Quraish Shihab ( 1992 :385 ) berpendapat paling tidak ada empat tugas seorang Ulama sebagai pewaris Nabi : Pertama, Menyampaikan ( tabligh ) ajaran-ajaranNya, sesuai dengan perintah, “Wahai Rasul sampaikan apa yang diturunkan kepadaMu dari tuhanMu” ( Qs.5:67 ). Kedua, menjelaskan ajaran-ajaranNya, berdasarkan ayat, “Dan kami turunkan alKitab kepadaMu untuk kamu jelaskan kepada manusia” ( Qs.16:44 ). Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan ayat, “Dan Allah turunkan bersama mereka alKitab dengan benar agar dapat memutuskan perkara yang diperselisihkan manusia” ( Qs.2:213 ). Dan keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menyatakan bahwa perilaku Nabi adalah praktek dari alQur’an.

Dari tugas tersebut ternyata tugas seorang Ulama bukan hanya mengurusi masalah keagamaan ( hal-hal yang bersifat ukhrowi ), tetapi juga dituntut untuk mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan di dunia ini.

Sedangkan tugas Umara ( Pemerintah ) adalah mengatur jalannya berbagai segi kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama agar rakyat bisa hidup makmur, sejahtera lahir dan batin.

Menurut hemat penulis, tugas Ulama dan Umara sebenarnya obyeknya sama yaitu agar umat atau rakyat yang dipimpinnya itu makmur, sejahtera lahir dan batin, cukup sandang, pangan, dan papan. Mengingat tugas Ulama dan Umara itu tidak bisa dipisahkan, maka tidak layak antara keduanya bekerja sendiri-sendiri atau saling menjauhkan. Mari tengok sejarah Islam; sebenarnya tidak perlu ada pemisahan antara Ulama dan Umara ( pemerintah ). Bahkan antara keduanya harus ada kerjasama yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Ulama seharusnya tidak sekedar memberi fatwa, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam program pemerintah dari perencanaan sampai pengawasan pelaksanaannya.

Pengalaman waktu belajar hadits di Pesantren, ada sebuah sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa “Sejelek-jelek Ulama adalah yang ( hobi ) mendekati penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah yang mau mendekati Ulama". Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari sahabat Ali karramallahu wajhah bahwa Nabi Saw. Bersabda, “akan datang pada manusia suatu zaman, dikala itu Islam tidak tinggal kecuali namanya saja, dan Al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya saja, masjid-masjidnya indah namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di bawah langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepadanya”

Dari dalil ini masih banyak para Ulama NU sampai sekarang masih tidak mau berhubungan dengan pemerintah/penguasa. Sikap ini didasarkan pada pendapat alGhazali yang mengkatagorikan Ulama menjadi dua,yaitu Ulama akhirat dan Ulama suu’/Ulama dunia. Salah satu ciri Ulama suu’ adalah yang hobi mengunjungi penguasa. Pendapat alGhazali ini tentu tidak harus diterima begitu saja. Di sini perlu dikaji kembali, bagaimana latar belakang sosial politiknya saat itu ketika beliau melontarkan pendapat ini. Kalau seorang Ulama mendatangi penguasa dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, menurut hemat Penulis, sah-sah saja bahkan wajib hukumnya. Tetapi kalau seorang Ulama mengunjungi penguasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadinya, barangkali ini yang menurut alghazali disebut Ulama suu'. Ada tiga dampak negatif apabila seorang Ulama terlalu dekat dengan penguasa, yaitu: 1) seorang Ulama itu akan diam meskipun melihat kemungkaran. 2) Ia akan berbicara, tetapi hanya sekedar basa basi. Dan 3) Ia akan menyaksikan dan merasakan aneka kenikmatan material yang diperoleh dari penguasa. Ketiga alasan inilah yang menjadi dasar alGhazali kenapa seorang Ulama tidak boleh dekat dengan penguasa.

Oleh karena itu kita kembalikan ke pribadi Ulamanya itu sendiri. Niat dan tujuan yang baik adalah menjadi barometer apakah seorang Ulama itu menjadi baik atau tidak.

Kedekatan Ulama NU dengan Umara

Kedekatan Ulama NU dengan Pemerintah Daerah Cirebon yang sekarang tidak diragukan lagi. Pasalnya dulu lima tahun yang lalu sejak pak Dedi masih belum jadi Bupati, menurut mereka sosok Dedi Supardi inilah yang paling layak menjadi Bupati Cirebon. Sebab kata mereka hanya pak Dedi Supardi lah yang paling mengerti dan peduli terhadap nasib Lembaga Pendidikan Islam seperti Pesantren, Madrasah Diniyah, TK/TPQ, Majlis Ta’lim, dan kegiatan keagamaan lainnya. Dan ternyata ini sudah terbukti ketika beliau menjadi Bupati selama lima tahun.

Atas dasar inilah kebulatan tekad para Ulama NU untuk tetap mendukung calon Bupati Incumbent yang dideklarasikan pada Musyawarah Alim Ulama NU Cabang Kabupaten Cirebon tanggal 10 Agustus 2008 lalu di Pondok Pesantren Ulumudin Susukan.

Terlepas dari pro dan kontra tentang dukung mendukung para Ulama terhadap calon dan wakil bupati tertentu, diharapkan agar jangan sampai menimbulkan konflik / perpecahan di kalangan masyarakat. Kepada pihak yang pro supaya tidak memunculkan idealisme yang berlebihan kepada yang kontra, demikian juga yang kontra. Karena bila hal itu dilakukan akan menimbulkan permasalahan baru. Pahamilah bahwa masyarakat kita masih rendah pemahamannya tentang politik. Jangan sampai masyarakat menjadi korban kepentingan elit.

Melalui tulisan sederhana ini, sebagai Kaum Muda NU penulis menyarankan sekaligus mengingatkan kepada para Ulama, baik yang aktif dalam struktural kepengurusan NU maupun dalam kultural NU agar mengedepankan Ukhuwah Islamiyah di atas segala kepentingan apapun. Bermusyawaralah untuk mufakat apabila ada permasalahan umat yang musykilat. Tidak ada satu masalahpun yang tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah. Semoga.

*Penulis: Mursana, M.Ag.

Kaum Muda NU tinggal di Plumbon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar