Rabu, 19 Agustus 2009

BERGURU KEPADA UMAR DALAM MEMBERANTAS KORUPSI

Oleh : Mursana, M.Ag.

Sebagai rakyat Indonesia, saat ini harus bangga terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla. Sebab salah satu yang menjadi agenda dan prioritas utama adalah pemberantasan korupsi. Mengapa? Karena korupsi di Negara Republik Indonesia sudah menjadi budaya. Bahkan lebih ngeri lagi telah menjadi gaya hidup para pejabat yang sedang ngetrend. Sehingga disebut aneh apabila ada pensiunan pejabat tetapi tidak diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Subhanallah, sebagai wong cilik saya bingung, siapa sebenarnya yang patut ditauladani di negeri ini. Karena semua tokoh yang dikagumi selalu saja berakhir dibalik teralis besi.
Tindak korupsi di Indonesia sudah sampai pada tarap yang meresahkan, kalau dahulu korupsi dilakukan oleh mereka yang memegang jabatan tertentu, atau di lembaga-lembaga keuangan, seperti Bank dan sebagainya, maka sekarang sudah sampai pada tingkat-tingkat terkecil dalam masyarakat seperti Camat, Desa atau bahkan RT, seolah-olah sudah membumi dan mentradisi dikalangan masyarakat. Selain karena ada peluang juga karena ketidak tegasan hukum kita terhadap pelaku korupsi, hingga sering kita dengar sebuah slogan dari masyarakat kita bahwa, “Yang korupsinya bertriliunan saja tidak ditangkap apalagi yang korupsinya kecil-kecilan”. Oleh karena itu yang kita butuhkan adalah ketahanan diri (Imsak) dan Istiqomah, yaitu sejauh mana kita ini komit terhadap ajaran agama itu.
Dalam naskah al-Qur’an atau hadits Nabi Saw. Memang tidak ditemukan kata-kata yang biasa diterjemahkan secara harfiyah dengan kata korupsi atau koruptor. Namun sebenarnya banyak ayat yang maknanya secara tegas menunjukkan, mengenai korupsi. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah ayat 188, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakannya sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Pernah menegaskan, “Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima suap”. Ayat dan hadits ini menunjukkan tentang larangan tindakan korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan Zhalim, yakni mengambil dan merampas hak orang lain. Dan perbuatan semacam ini sangat berat hukumannya dihari kiamat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Saw, “Barang siapa yang mendzolimi (mengambil) tanah orang satu jengkal, maka pada hari kiamat, Allah akan menimpakan kepadanya tujuh kali lipat dari tanah yang diambilnya”. (H.R. Bukhori dan Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa siapapun yang mengambil tanah orang lain dengan cara yang tidak benar (zhalim) satu jengkalpun, maka pada hari kiamat akan memikul tujuh kali lipat dari tanah yang dia ambil itu di atas pundaknya. Sebenarnya kalau kita perhatikan tanah satu jengkal berapa harganya, tentu saja tidak seberapa, akan tetapi akibat yang akan diperoleh bagi mereka yang mengambil hak orang lain, di akhirat akan sangat berat sekali hukumannya, apalagi mereka yang mengambil atau mengkorupsi uang negara atau hak-hak orang dalam jumlah besar, karena itu takutlah kepada azab Allah di akhirat kelak, wahai para koruptor!
Kerugian akibat ulah para koruptor di negeri ini sesungguhnya membawa dampak ketidakstabilan negara dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang ekonomi, harga BBM hampir tidak pernah turun (naik terus), harga sembako semakin melangit yang mengakibatkan rakyat semakin menderita, terutama rakyat kecil (wong cilik). Dalam bidang pertahanan dan keamanan; peralatan perang yang dimiliki oleh TNI jauh tertinggal dibanding negara lain, karena biaya untuk membeli senjata tidak sebesar negara lain, gara-gara ada Mang Koruptor. Begitu pula pada bidang-bidang yang lainnya.
Kenapa korupsi marak di Indonesia? Menurut KH. Didin Hafidhudin, bahwa maraknya budaya korupsi di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah:
Pertama, kurangnya masyarakat memahami ajaran-ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, individu muslim belum menghayati makna ajaran agama, seperti makna sholat, puasa dan sebagainya. Ibadah sholat dan puasa bila dilaksanakan secara benar dan konsekuen dapat dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, misalnya mampu mencegah perbuatan-perbuatan jahat, mungkar dan merugikan orang lain.
Kedua, lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Di tanah air memang banyak lembaga pengawasan berdiri, namun kinerjanya belum maksimal. Lemahnya sistem pengawasan ini memungkinkan pelaku tidak merasa takut untuk melakukan korupsi. Namun saat ini pemerintah baru menyadari bahwa pengawasan itu sangat perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga LSM dan mengaktifkan lembaga hukum, kejaksaan dan pengadilan (kehakiman).
Ketiga, lemahnya sistem hukum. Ini terjadi karena kurang beraninya aparat hukum dalam melakukan penelitian dan pengungkapan terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Saat ini aparat hukum mulai bergerak. Hukum mulai ditegakkan. Para koruptor satu persatu mulai ditangkap. Penegakan hukum ini harus terus dijalankan, bila Indonesia ingin bebas korupsi.
Keempat, kurang digalakkannya semangat rakyat anti korupsi. Semangat ini sangat perlu dijalankan, sebab tindak korupsi telah menjerumuskan bangsa ini ke jurang kehancuran. Bila semangat kurang digerakkan, maka nasib bangsa ini terus akan di bawah. Oleh karena itu, sosialisasi semangat anti korupsi perlu digerakkan mulai dari lembaga pendidikan bawah sampai atas.
Melalui tulisan sederhana ini, penulis atas nama wong cilik menghimbau kepada para pejabat dan para penguasa negeri ini agar mentauladani sang Kholifah Amirul Mumminin Umar bin Khaththab dalam menegakkan supremasi hukum dan memelihara amanah dari rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengeluarkan perintah yang berisi larangan mencampur susu dengan air. Tetapi adakah peraturan ini memiliki mata hingga sanggup mengawasi setiap orang yang melakukan penyelewengan? Adakah dia memiliki tangan hingga mampu menangkap setiap pelaku pelanggaran? Jawabannya tidak! Dalam hal ini harus imanlah yang memiliki peranan besar dalam diri setiap individu.
Alkisah tersebut cerita seorang ibu dan anak perempuannya. Sang ibu bermaksud mencampur susu dengan air, karena mengharapkan keuntungan, sedang anak perempuannya memperingatkan kepadanya tentang larangan Khalifah Umar bin Khaththab. Sang ibu berkata, “Bukankah Sang Khalifah jauh dari kita? Tak mungkin dia bisa melihat kita.” Anak perempuan itu menjawab, “Meskipun Sang Khalifah tidak melihat kita, namun Tuhan Sang Khalifah tetap melihat kita.”
Dalam riwayat lain menceritakan, ketika kaum muslimin menduduki Madain dan memperoleh rampasan perang, datang seorang laki-laki membawa harta rampasan untuk diserahkan kepada orang-orang yang ditugasi mengumpulkan harta rampasan itu. Lalu orang-orang yang bersama dia saling berbisik satu sama lain dengan mengatakan, “Belum pernah kita melihat barang berharga seperti ini. Apa yang telah kita berikan sungguh tiada menyamai, bahkan mendekatipun tidak.” Para petugas bertanya, “Engkau tidak mengambilnya barang sedikit?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah! Kalau bukan karena Allah, tidak mungkin aku menyerahkan harta ini kepada kalian.” Karena melihat laki-laki itu mempunyai kejujuran yang luar biasa, mereka bertanya, “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepada kalian siapa diriku, agar kalian tidak memujiku. Juga kepada selain kalian, agar mereka tidak memberikan penghargaan kepadaku. Tetapi aku hanya mengharap pujian dari Allah SWT dan merasa puas dengan pahalanya.” Harta rampasan yang melimpah ruah dan tak ternilai harganya itu diantarkan sendiri oleh seorang tentara yang berjuang dengan ikhlas karena Allah, tiada mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih dari sesama manusia. Kholifah Umar bin Kaththab berkata dengan penuh kekaguman dan penghargaan, “Sungguh yang menyerahkan harta rampasan ini benar-benar orang yang jujur.”
Kedua kisah tersebut mencerminkan bagaimana ketaatan dalam menegakkan hukum dan amanah. Walaupun ada kesempatan untuk melanggar (korupsi) tanpa diketahui oleh manusia lain, namun keyakinan bahwa Allah SWT melihat (al-bashiir) segala perbuatan itu, dan dengan ikhlas berbuat karena Allah SWT, maka segala kesempatan untuk melakukan pelanggaran tidak akan terjadi. Karena ia yakin bahwa siksa kubur dan siksa neraka itu haq.
Ada satu kisah lagi dari ketokohan Khalifah Umar bin Khaththab. Suatu ketika beliau ingin menguji salah seorangg rakyatnya, seorang pengembala kambing upahan yang hidupnya jauh dari keramaian kota. Sang Khalifah yang terkenal tegas, tetapi berhati sangat lembut ini menyamarkan sebagai seorang rakyat biasa juga berpura-pura ingin membeli salah satu kambing gembalaannya. Singkat cerita, Khalifah Umar mulai menawar salah satu diantara kambing gembalaan itu, maka terjadilah dialog antara Khalifah Umar dengan sang pengembala itu:
Khalifah Umar : “Saudaraku, maukah engkau menjual satu atau dua ekor kambing gembalaan-mu itu kepadaku”.
Pengembala : “Maaf tuan, kambing-kambing ini bukan milik aku. Aku hanyalah seorang pengembala upahan, sedang pemilik gembala ini adalah majikanku yang tinggal di kota”.
Khalifah Umar : “Saudaraku, majikanmu kan tidak ada di sini, dan dia tidak akan bakal tahu kalau kamu menjual barang satu atau dua ekor kambing itu kepadaku. Dan kalau sewaktu-waktu dia datang dan menanyakan perihal kambingnya yang berkurang, andakan bisa saja berkilah bahwa ada yang dimakan serigala.
Mendengar penuturan Khalifah Umar tersebut, sang pengembala dengan muka memerah, menatap tajam kepada Khalifah Umar, lalu berkata dengan nada tinggi Fa-ainallah? (lalu dimanakah Allah?)
Sepenggal kisah ini menggambarkan karakter pribadi seseorang yang merasa dirinya senantiasa ditatap dan disorot oleh kamera Tuhannya (al-Bashiir). Pribadi seperti inilah yang tidak akan pernah mau berbuat maksiat dan korup, meskipun ia punya kesempatan untuk itu.
Sungguh hanya dengan kekuatan spiritual-lah (keimanan) yang mengakar dan meresap dalam hati, satu-satunya kekuatan sejati yang dapat meredam gejolak hawa nafsu, bisikan jahat syetan, dan naluri kita. Tanpa kendali ini, adanya hukum, ilmu, dan kontrol sosial tidak akan mampu meredam segala macam tindak kejahatan termasuk korupsi. Artinya bahwa hukum, ilmu, maupun kontrol sosial tidak ada gunanya tanpa keimanan yang istiqomah kepada Allah Swt. Sebaliknya, keimanan bahwa Allah senantiasa “Melihat segala perbuatan kita” (QS. Al-‘Alaq :14) dapat meredam segala gejolak tersebut tanpa perlu bantuan hukum, ilmu, dan kontrol sosial. Hukum biasanya tidak dipatuhi pada saat dalam kesendirian. Hukum hanya bermanfaat di dalam keramaian. Sementara sebagian kejahatan terjadi karena sembunyi-sembunyi. Ilmu dan kontrol sosial tidak berguna untuk mencegah naluri ketika ia bergelora. Kedua hal ini hanya dapat mencegah dan mengendalikan naluri di saat dan di dalam situasi normal. Tidak salah, tetapi juga mungkin agak berlebihan, jika Jalaludin Rumi dalam salah satu bait syairnya mengatakan : “Janganlah anda mengira dapat mengalahkan hawa nafsu dengan ilmu dan pemikiran serta filsafat, akan tetapi anda perlu senjata iman yang kuat, akal dan rasio tidak dapat memberikan sumbangan apapun”.
Akhirnya, bahwa untuk membersihkan negeri ini dari korupsi, mari kita mulai dari diri sendiri (Ibda’ bin Nafsi) untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Tanpa keduanya, sekuat apapun pemerintah dalam menegakkan hukum di negeri ini tidak akan sukses dalam memberantas korupsi, dimulai dari aparat penegak hukumnya untuk meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah, selanjutnya pasti akan diikuti oleh masyarakatnya. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah. Dia memberantas korupsi, padahal dia sendiri tersangka masalah korupsi. Dia memberantas narkoba, padahal dia sendiri bermasalah dengan narkoba, dan lain sebagainya. Semoga.

  Mursana, M.Ag. ; Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon. 
  Alumni Pesantren Darussalam Ciamis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar