Minggu, 09 Agustus 2009

MEMELIHARA AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Drs. H. Abdul Ghofar, MA 

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu 
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah sorga ) 
Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman ) 2X
( lagu ini dipopulerkan oleh grup musik Koes Plus pada tahun 80-an )

Penggalan bait syair di atas merupakan gambaran negeri yang subur dan makmur. Kehidupan makhluk Tuhan terlihat adanya keseimbangan dan keserasian dengan saling berkaitan satu sama lainnya. Maka menurut Quraish Shihab (1992); bila terjadi gangguan alam yang luar biasa terhadap salah satunya, dipastikan makhluk yang berada dalam lingkungan hidup tersebut, ikut terganggu pula. Seperti disebutkan dalam al Qur’an bahwa Alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat ” (Q.S.82: 7 dan 67: 3). Oleh karena itu jika keseimbangan dan keserasian alam tidak dilestarikan, maka timbullah kehancuran alam ini.
Suasana alam yang ramah dan bersahaja dengan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya telah tergambar dalam goresan syair di atas. Inilah potret negeri kita pada masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah bait-bait syair ini masih relevan apabila dikumandangkan pada saat ini? Kalau tidak, lalu kata-kata apa yang pantas untuk diucapkan dalam menilai kondisi alam dan lingkungan kita saat ini? 
Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’uun, nampaknya kalimat inilah yang sangat cocok untuk diucapkan oleh umat Islam di Indonesia, akhir-akhir ini. Karena kelihatannya bangsa Indonesia pada umumnya sedang mendapat teguran/ diperingatkan oleh Allah Swt. dengan datangnya musibah yang silih berganti. Mulai dari musibah Tsunami di penghujung tahun 2004 yang memakan korban ratusan ribu jiwa masyarakat Aceh meninggal dunia, disusul lagi tsunami di Nias Sumatra Utara, sampai dengan gempa di Yogyakarta, Jawa Tengah, Pengandaran, dan yang terakhir di Bengkulu terjadi gempa berkekuatan 7,9 skala Richer disusul serangkaian gempa susulan sejumlah daerah di Indonesia dan sempat dinyatakan berpotensi tsunami, Rabu (12/9/2007), sekitar pukul 18.10 WIB. Gempa Bengkulu berkekuatan 7,9 skala Richter membuat kerusakan berat di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, dan yang terakhir pada awal-awal tahun ini bencana Situ Gintung Tanggerang. Kalimat Thoyibah tersebut diucapkan sebagai bentuk kesadaran makhluk kepada Sang Kholik, bahwa semua makhluk di dunia ini adalah milik Allah dan suatu saat akan kembali kepada Allah Swt. Dengan demikian apabila bacaan tersebut diucapkan ketika terjadi musibah, maka berarti kita sedang diingatkan agar segera kembali kepada Allah, karena mungkin selama ini, kita sebagai makhluk telah jauh menyimpang dari rambu-rambu yang telah digariskan Allah Swt.
Ada apa dengan Bencana?
Setiap kali muncul / terjadi suatu bencana, sering orang bertanya-tanya, ada apa dengan bencana? Setiap orang beragam dalam menjawab pertanyaan seperti ini. Ada yang menjawab, terjadi karena pergeseran lempengan-lempengan yang ada di dasar laut, sehingga berpotensi menimbulkan gempa tektonik dan tsunami. Ada lagi yang menjawab, mungkin karena alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Bahkan ada yang lebih radikal lagi jawabannya, karena alam sudah terlalu sering disakiti, dirusak, dizholimi (dieksploitasi) oleh manusia, maka alam itu marah yang membabi buta. Dan kalau alam itu sudah marah dan murka maka dampaknya adalah kepada manusia itu sendiri.
Semua jawaban di atas apabila disimpulkan, karena umat manusia sudah tidak lagi memelihara dan menjaga akhlak yang baik terhadap alam dan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya.
Sudah bosan rasanya telinga kita mendengar berita-berita yang menggambarkan tentang prilaku manusia yang berbuat tidak adil terhadap alam dan lingkungan. Padahal dampak dari perbuatannya itu akan kembali lagi kepada manusia itu sendiri. Sebut saja misalnya penebangan liar (penggundulan) hutan tanpa memperhatikan undang-undang yang berlaku, mengakibatkan banjir bandang dan longsor. Membakar hutan secara ilegal, untuk kepentingan oknum para pengusaha Kelapa Sawit, mengakibatkan asap tebal dimana-mana bahkan sampai ke negara tetangga. Dan pengeboran minyak tanpa memperhatikan peraturan yang berlaku, berdampak luapan lumpur yang tidak terkendali seperti di Sidoarjo dan lain-lain. Kenapa manusia tega berbuat demikian? Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَ‌ٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ 
” Telah dihiasi pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia ” ( Q.S. 3:14). 
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia diberi potensi hawa nafsu untuk mendapatkan rasa cinta kepada wanita cantik, ingin memiliki harta benda yang banyak seperti emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang ternak dan sawah ladang (Az-Zuhaily:1998) Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan semuanya itu, walaupun dengan berbagai cara, tidak peduli apakah cara yang digunakan itu merusak alam dan lingkungan atau tidak yang penting bagi dirinya bahwa tujuan itu tercapai. Maka dari sinilah awal mula proses terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan bencana yang sangat dasyat di negeri ini.
Islam memandang bahwa segala musibah yang terjadi di alam ini akibat perbuatan manusia itu sendiri. Seperti dalam firman Allah Swt.:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. 30: 41)
 Dalam ayat ini menjelaskan bahwa musibah yang terjadi baik di daratan maupun di lautan akibat ulah manusia yang mengumbar hawa nafsunya untuk kepentingan dirinya. Dan musibah sengaja Allah Swt. timpahkan kepada manusia agar manusia kembali ke jalan Tuhannya yakni jalan yang benar.
Saatnya berakhlakulkarimah kepada Lingkungan Hidup
Apabila kita tela’ah kembali ruang lingkup ajaran Islam, paling tidak ada empat hal yang perlu dilakukan oleh setiap muslim, yaitu memelihara akhlak terhadap Allah, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan lingkungan hidup (alam sekitar).
Ketika manusia berakhlak kepada Allah disebut hablum minallah, bentuknya adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah. Ketika manusia berakhlak kepada sesama manusia disebut hablum minannas, bentuknya adalah mu’amalah atau saling tolong menolong dalam kebaikan. Ketika manusia berakhlak dengan dirinya sendiri disebut hablum minannafsi, bentuknya adalah memperhatikan dirinya sendiri agar badannya selalu sehat dan prima, dan bila ia sakit segera berobat. Dengan kata lain tidak membiarkan dirinya sakit atau menderita. Dan ketika manusia berakhlak kepada lingkungan hidup atau alam sekitar disebut hablum minal ’alam, bentuknya adalah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar