Rabu, 19 Agustus 2009

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK AL – ZARNUJIY

Oleh : MURSANA, M.Ag.

A. Pendahuluan
Diantara konsep pendidikan yang ada, menurut penulis hanya konsep pendidikan al-Zarnujiy yang masih tetap eksis keberadaannya di Indonesia ini khususnya di Jawa. Konsep pendidikan al-Zarnujiy yang dimuat dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” diajarkan di Pesantren Salafiyah sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata out put dari konsep pendidikan ini berhasil. Para santri yang mempelajari kitab ini bukan hanya menjadi santri yang berakhlakul karimah terhadap gurunya, orang tuanya, keluarganya, juga teman-temannya dalam pergaulan, tetapi juga menjadi santri yang taqwa kepada Allah, berguna bagi keluarganya, nusa, bangsa dan agamanya. Sehingga tidak jarang para alumni Pesantren Salafiyah yang dulunya mempelajari konsep pendidikan al-Zarnujiy ini, ilmunya benar-benar bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat sekitarnya, kapan dan dimanapun mereka hidup.
Oleh karena itu atas keberhasilan konsep ini, sampai saat ini diberbagai Pesantren Salafiyah, kitab “Ta’lim al-Muta’allim” menjadi kitab wajib yang harus dipelajari oleh santri baru. Karena dengan doktrin-doktrin yang ada dalam kitab ini, seorang santri menjadi disiplin, taat peraturan, bisa bergaul dan akan istiqomah dalam beribadah kepada Allah SWT. 
Namun jangan lupa bahwa seluruh doktrin yang ada dalam kitab ini sesungguhnya merupakan konsep. Sebuah konsep biasanya dibuat karena berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu. Konsep masa lalu ada kalanya cocok dipakai sekarang dan ada kalanya tidak cocok dipakai sekarang. Maka pantas kalau dulu KH.DR.Sayid Aqil Sjiraj,MA pernah berpendapat bahwa siapapun tidak boleh mengkultuskan kitab Ta’lim al-Muta’allim.

B. Biografi Al-Zarnujiy
Nama lengkapnya al-Zarnujiy adalah Burhan al-Din al-Zarnujiy, dengan dinisbatkan ke daerah kelahirannya yaitu Zarnuj. Untuk asalnya, ada banyak pendapat, diantaranya ada yang berpendapat ia berasal dari daerah Turki, ada yang berpendapat dari daerah Turkistan, dan ada juga yang berpendapat berasal dari daerah Khurasan. Sedangkan masa hidupnya juga ada banyak pendapat, diantaranya ada yang berpendapat bahwa dia hidup sekitar abad 13 M, sedangkan pendapat lain mengatakan ia hidup sekitar abad 6 H atau 12 M.
Dalam disiplin Fiqh, al-Zarnujiy mengikuti sekte (madzhab) Hanafiyah, tokohnya adalah Imam Abu Hanifah (w.150 H). Hal tersebut terindikasi dengan banyaknya disebut tokoh-tokoh (yang notae-bene sebagai guru dan panutannya) dari kalangan sekte Hanafiyah di dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim. Dia menyebutkan sampai 75 ulama yang 50-nya adalah dari sekte Hanafiyah. Seperti Burhan al-Din ‘Ali bin Abu Bakar al-Farghaniy al-Marghiyani (w.593 H), Hammad bin Ibrahim dan Burhan al-Din penulis kitab I.
Juga terindikasi dengan beberapa karya Fiqih tokoh sekte Hanafiyah yang dijadikannya sebagai refrensi (rujukan). Sehingga tidak heran, kalau Muhammad bin Sulaiman dalam bukunya A’lam al-Akhyar (Sebuah buku yang memuat tokoh-tokoh sekte Hanafiyah) memasukkan al-Zarnujiy dalam deretan tokoh-tokoh sekte Hanifiyah.

C. Konsep Pendidikan Akhlak
Adapun untuk mengetahui konsep pendidikan etikanya al-Zurnujiy, maka tidak bisa tidak harus merefren (ruju’) karya utamanya tentang al-Muta’aliim yang terdiri dari 13 bab pembahasan atau fashl.
Dari ke 13 bab tersebut 7 bab diantaranya banyak berisi tentang konsep pendidikan akhlak atau etic education (al-tarbiyah al khuluqiyyah). Diantaranya adalah bab al-Niyyah hal al-Ta’allum (konsep tentang niat masa belajar), ta’dzim al-‘ilm (konsep tentang pemuliaan terhadap suatu disiplin keilmuan), al-jid wa al-muwadhabah wa al-himmah (konsep tentang progresifisme), al-tawakkal (konsep tentang tawakkal), al-syafaqah wa al-nashihah (konsep tentang saling menasehati), al-istifadah wa iqtibas al-adab (konsep tentang tatakrama pergaulan) dan al-wara’ hal al-ta’allum (konsep tentang wirai atau wara’).
Semua konsep pendidikan etika al-Zarnujiy ini merupakan refleksi dari realitas dia hidup, dimana secara politik al-Zarnujiy hidup dalam tiga dinasti Islam yang saling cekcok, yaitu dinasti ‘Abbasiyah yang dikendalikan oleh dinasti Saljuq, sebagai penguasa legeslatif dengan tokoh utama Thaghuk Khan (w.1063 M), dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Shalahuddin al-Ayyubiy (w.1193 M), dan dinasti Murabithun yang didirikan oleh Yahya bin Ibrahim al-jadaliy (W.1056 M), rajanya yang tersohor adalah Yusuf bin Tasyafin (w.1106 M).
Diantara dinasti-dinasti Islam tersebut terjadi ketegangan yang cukup tinggi, seperti kekalahan dinasti Fathimiyah di Mesir oleh dinasti Ayubiyah menyebabkan dinasti Fathimiyah meminta bantuan kepada pasukan Salin untuk mengalahkan dinasti Ayyubiyah guna merebut Bait al-Maqdis. Juga, terjadi konflik antara dinasti Murabithun di Spanyol dengan dinasti ‘Abbasiyah di Baghdad.
Juga kerena banyaknya bermunculan aliran-aliran pemikiran, baik dalam disiplin Teologi (kalam), Filsafat maupun dalam disiplin Fiqh yang memang dalam satu sisi hal tersebut berdampak positif, yaitu menjadi ramai dan berkembangnya intelektualitas keislaman. Tapi di sisi lain, hal tersebut membuat kesemrawutan intelektual kesilaman, yang tidak bisa dibendung terjadi fitnah dan kerancuan ajaran Islam.
Sehingga tidak elak lagi kalau al-Zurnujiy memberikan konsep tentang pendidikan etika. Adapun konsep pendidikan etika al-Zurnujiy tersebut bisa diklasifikasi berdasarkan pada tiga pola relasi (al-mu’amalah), yaitu :
Pertama, relasi ilahiyyah (vertikal), yaitu relasi yang berdasarkan ikatan ketuhanan. Dimana al-Zurnujiy menempatkan konsep syukur atas karunia Allah SWT berupa akal dan kesehatan jasmani. Hal ini sebagaimana ayat : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (surat Ibrahim 14:7). Karena dengan akalah manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah SWT yang lain. Sehingga tidak heran kalau Allah SWT dalam banyak ayat al-Qur’an sangat menekankan kepada manusia agar memanfaatkan semaksimal mungkin potensi akal ini. Juga konsep berdoa dengan andap asor (al-ta’dlurru) dihadapan Allah SWT sebagai Penguasa alam. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat al-A’raf: “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut” (al-A’raf 7:55). Dan konsep tawakkal atas apa yang telah ditargetkan oleh Allah SWT, karena sebagaimana dalam pepatah “anta turid wa ana urid wa lakinna Allah yaf’alu ma yurid” (kamu ingin saya juga ingin, tetapi Allah mempunyai keinginan-Nya sendiri), Allah SWT dalam surat al-Anfal mengatakan: “Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (al-Anfal 8:49), juga dalam surat Ali Imran : “Bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali-Imran 3:159).
Kedua, relasi insaniyyah (horizontal), yaitu relasi yang berdasarkan sama-sama makhluk Tuhan yang paling mulia dengan kelebihan pemberian berupa akal, atau relasi sesama manusia. Di sini al-Zarnujiy mengedepankan konsep saling menghormati (al-ta’dzim wa al-hurrmah) sesama manusia dengan tidak membedakan agama, suku, warna kulit atau asal daerah. Mulai dari lingkup sosial yang paling kecil yaitu keluarga, sampai lingkup sosial yang paling luas yaitu bernegara. Hal ini senada denan hadits Nabi Saw : “Barang siapa yan tidak menyayangi yunior-yuniornya, atau mereka yang tidak mau tahu dengan hak-hak senior-seniornya, maka orang-orang tersebut tidaklah termasuk umatku” (HR. al-Turmudzi). Di samping juga, al-Zarnujiy memberikan konsep kesabaran, konsep tentang adab (tingkah laku) dalam suatu forum, juga konsep berdemokrasi (musyawarah) dalam kehidupan sosial. Hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam surat Ali Imran : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran 3:159).
Ketiga, adalah relasi khaliqiyyah (horizontal), yaitu relasi yang berdasarkan atas kesamaan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang berada di muka bumi ini, baik dengan hewan, tumbuhan, atau benda-benda lain. Seperti konsep al-Zarnujiy tentang perlunya memuliakan buku-buku (kitab al-durus) dengan cara merawatnya dengan baik atau menjaga buku-buku itu tidak cepat rusak. Karena buku yang merupakan salah satu wasilah (sarana) belajar, sangatlah imposibble (mustahil) kalau dengan sarana yang acak-acakan mengharapkan sampai pada tujuan dengan lancar dan sukses.

D. Penutup
Kalau kita melihat pada realitas pendidikan di sekitar kita dewasa ini, apalagi pendidikan etika, sangatlah mengenaskan, kering dari konsep etika, juga materialistis yang diharapkan dari lulusannya hanya sukses dari segi materi. Sehingga tidak heran kalau di Indonesia ini mengalami krisis yang sangat menyakitkan ini. Hal ini tidak lain hanya kerena terjadi krisis etika pada setiap individu kita. Baik dari lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis umum atau yang berbasis keagamaan.
Kita tidak kesulitan menemukan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (seperti pesantren atau sekolah-sekolah yang nota-bene di bawah naungan Depag: UIN, IAIN, atau STAIN) secara etika sangat memalukan, tidak sedikit orang yang bertitel ulama atau profesor dan doktor dalam bidang keagamaan yang melakukan korupsi dan kolusi. Juga tidak repot kita dapatkan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis umum (seperti UI, UGM atau yang lain) dengan profesi sebagai dokter, insinyur, bangkir, bisnisman, atau lainnya yang tidak kalah memalukan, tapi kerap kali ulah mereka jarang dideteksi karena mereka sudah tidak asing dengan permainan angka.
Hal ini semua karena terjadinya krisis etika (dekadensi moral), karena krisis etika adalah asal terjadinya segala krisis di Indonesia kita ini. Maka saya rasa, konsep pendidikan yang berdasarkan etika-lah yang bisa menjadi solusi utama untuk bisa mengikis habis segala krisis tersebut. Dan konsep pendidikan etika al-Zarnujiy ini patut dijadikan alternatif untuk hal tersebut. Karena konsep al-Zarnujiy sangatlah komprehensif, tidak mengedepankan etika yang vertikal (Illahiyah) atau horizontal (Insaniyah dan Khalqiyah) saja, melainkan memposisikan keduanya dalam posisi yang sebanding.
Karena, kalau krisis yang multi ini hanya diselesaikan dengan usaha yang vertikaly (Illahiyah), hanya dengan istighatsah, dzikir, majlis ta’lim, atau renungan-renungan kalbu saja, hal itu hanya akan membuat impoten dan mandul saja. Begitu pula, kalau hanya diselesaikan secara horizontaly (insaniy dan khalqiy) maka yang didapat hanyalah kering dan kosong). Sedangkan solusi yang paling tepat adalah penggabungan dua arah tersebut, sehingga terjadi keseimbangan (balance). Dan akhirnya kita hanya bisa berdo’a Allah SWT sebagai Dzat yang paling ber-otoritas atas segalanya yang ada, dimanapun, dan kapanpun, : Allahumma ahsin khuluqiy kama ahsanta khalqiy”.

DAFTAR PUSTAKA
1. Khadim al-haramain, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Saudi Arabiyah : Mujama’ al-Malik Fahd, 1418 H)
2. Imam al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, (Beirut : Darul Fikr, 1985)
3. Al-Zarnujir, Ta’lim al-Muta’allim, (Indonesia : Darul Ihya al-‘Arabiyah, tt)
4. Al-Zarnujiy, Terjemah (Jawa) Ta’lim al-Muta’allim, (Semarang : Menara Kudus, 1981)
5. Imam An-Nawawiy, Riyadhus-Sholihin, (Semarang : Nur Asia, tt)
6. Santri-santri Pesantren Lir Boyo Kediri, Kumpulan Syair Ala-la, (tt)
7. Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar