Kamis, 20 Agustus 2009

MEMBANGUN TEOLOGI INKLUSIF DAN DIALOGIS UPAYA MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS UMAT BERAGAMA1

Oleh : Mursana, M.Ag.2

Ada satu hal yang sangat menonjol yang harus diperhatikan dan sekaligus mengundang keprihatinan dalam kehidupan beragama akhir-akhir ini, yaitu kecenderungan pendangkalan pesan agama pada berbagai komunitas agama, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam. Para mubaliq, pendeta, dan rabbi terjebak dalam lingkaran konsep monopoli keselamatan eksakologis di luar iman mereka masing-masing. “Jalan keselamatan hanya dimonopoli oleh satu tradisi agama”. Itulah doktrin yang sering dilontarkan oleh agamawan. Doktrin semacam inilah yang kemudian menumbuhkan kesombongan komunitas agama tertentu – bahkan juga pada mazhab tertentu, tetapi masih dalam satu tradisi agama yang sama – yang menganggap bahwa hanya doktrin agamanyalah yang paling benar. Di luar tradisi agamanya atau doktrin di luar madzabnya pasti tidak selamat, kafir, murtad, terbelakang dan sesat.

Sikap tidak menghargai mazhab, iman atau agama di luar dirinya mengemukakan dalam sikap-sikap agresif dan agitatif. Apabila sika-sikap negatif ini semakin “mengeras” niscaya akan timbul reaksi balik dari para pemeluk agama lain atau penganut doktrin tertentu, walaupun masih berada pada satu tradisi agama yang sama. Di kalangan Muslim tertentu, reaksi balik ini akhirnya akan menumbuhkan sikap eksklusif.

Membangun klaim kebenaran absolut (absolut religious truth claim) yang bersifat eksklusif pada agamanya dan menegatifkan pintu keselamatan pada pemeluk lain dalam konteks Indonesia tidak hanya dilakukan oleh para mubalig atau pendeta. Dalam proses yang panjang tampaknya hal ini merupakan akibat dari proses pendidikan dan dakwah. Metode pengajaran pendidikan agama dan metode dakwah selama ini cenderung memusuhi, mencurigai dan tidak mau mengerti agama atau mazhab lain. Pada akhirnya pesan agama kian pudar karena tergantikan oleh kepentingan politis pada masing-masing pemeluk agama dan mazhab.

Selain metode pendidikan dan dakwah sebagaimana di atas, agama telah dijadikan sebagai ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipergunakan untuk menghadapi orang lain. Inilah proses lain dari pendangkalan agama: kepentingan agama telah diletakkan atau disusupi oleh kepentingan yang sifatnya eksklusif, dan menjadi kepentingan utama. Karena itu, yang terjadi adalah eksklusivisme agama di kalangan pemeluk agama dan mazhab. Gejala inilah yang mengakibatkan munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan atas nama agama, seperti di Ambon, Poso, Palu, serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Parung, pengrusakan fasilitas milik komunitas Salamullah pimpinan Lia Aminuddin, pengrusakan milik kelompok Al-Qiyadah Islamiyah dan sebagainya.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan solidaritas umat beragama dan meredam eksklusivisme agama yang berakibat munculnya kekerasan atas nama agama? Kita harus mengevaluasi kehidupan keagamaan.

Pertama, setiap agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian menciptakan tradisi. Oleh karena itu, kebesaran agama terletak pada kebesaran tradisi yang ditinggalkannya. Sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penduduk, di samping itu tentu saja muatan ajaran atau doktrin. Namun, sesungguhnya doktrin agama akan selalu berkembang dalam perjalanan historisnya, sehingga apa yang disebut teologi, misalnya adalah juga bersifat antropologis. Karena sifat antropologisnya, maka pluralisme agama menjadi sebuah keniscayaan, sebagaimana keniscayaan adanya pluralitas bahasa dan etnis. Oleh karena itu, membangun teologi inklusif dan dialogis merupakan satu langkah yang sangat memungkinkan.

Mengapa beragama harus dialogis? Karena, pada dasarnya kehidupan adalah proses dialog yang terjadi secara terus menerus. Dalam proses dialog seseorang akan memberi dan menerima. Kesediaan memberi dan menerima pada akhirnya akan menciptakan rasa damai, saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing dari kita bersikap bisa dipercaya. Dalam proses ini pula agama harus ditransendensikan sedemikian rupa, sehingga ia memiliki kekuatan pembebas konflik, dan bukan menjadi sumber konflik.

Kedua, agama berhadapan dengan kehidupan politik, sehingga manipulasi politik atas agama menjadi sulit dihindarkan. Jika agama dan politik sudah berjalan beriringan, maka gesekan keduanya akan menimbulkan masalah yang complicated. Untuk menghindari percampuran antara politisasi agama dan pendangkalan agama di pihak lain, maka pemeluk agama harus mampu menangkap pesan agama. Agama hadir di bumi untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Wallahu ‘alam bi shawab.


1. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pembauran Bangsa, pada tanggal 20 Nopember 2007.

2. Seksi Penamas Kandepag Kab. Cirebon.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar