Rabu, 19 Agustus 2009

MEWASPADAI FIR’AUNISME DI BIROKRASI

Oleh: Mursana, M.Ag.*

Secara bahasa Fir’aun berarti orang yang lari dari pertolongan Allah Swt. Fir’aun (Pharaoh) adalah sebutan raja-raja mesir kuno. Di antara Fir’aun-fir’aun yang paling terkenal adalah Fir’aun yang hidup pada zaman nabi Musa as.yang mendapat gelar Ramses II. Dalam sejarah (tarikh) yang ditulis oleh Harun Yahya yang lahir di Ankara Turky pada tahun 1956 menyatakan bahwa Raja Fir'aun ini telah berkuasa di Mesir paling lama menjalankan pemerintahan yang zalim, kejam dan ganas. Rakyatnya yang terdiri dari bangsa Egypt yang merupakan penduduk peribumi dan bangsa Isra'il yang merupakan golongan pendatang, hidup dalam suasana penindasan, tidak merasa aman bagi nyawa dan harta bendanya. Tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa pemerintahan terutamanya ditujukan kepada Bani Isra'il yang tidak diberinya kesempatan hidup tenang dan tenteram. Mereka dikenakan kerja paksa dan diharuskan membayar berbagai pungutan yang tidak dikenakan terhadap penduduk bangsa Egypt, bangsa Fir'aun sendiri. Selain kezaliman, kekejaman, penindasan dan pemerasan yang ditimpakan oleh Fir'aun atas rakyatnya, terutama kaum Bani Isra'il. Ia menyatakan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah dan dipuja. Dengan demikian ia makin jauh membawa rakyatnya ke jalan yang sesat tanpa pedoman tauhid dan iman, sehingga makin dalamlah mereka terjerumus ke lembah kemaksiatan dan kerusakan moral dan akhlak. Maka dalam kesempatan bercakap-cakap langsung di bukit Thur Sina itu diperintahkanlah Musa as. oleh Allah untuk pergi ke Fir'aun sebagai Rasul-Nya, mengajak beriman kepada Allah, menyadarkan dirinya bahwa ia adalah makhluk Allah sebagaimana rakyatnya yang lain, yang tidak sepatutnya menuntut orang menyembahnya sebagai tuhan dan bahwa Tuhan yang wajib disembah olehnya dan oleh semua manusia adalah Allah Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini.
Dalam Al Qur'an hal ini diceritakan : Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesugguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu. ( QS. Al-Qashash: 3-6).
Berdasarkan ayat di atas, untuk melanggengkan kekuasaannya, Fir'aun ingin mencegah bani Israel untuk bertambah jumlahnya dengan cara membunuh semua bayi laki-laki yang baru lahir. Inilah sebabnya mengapa ibunda Musa dengan mendapatkan ilham dari Allah SWT menempatkan Musa ke dalam keranjang dan menghanyutkannya ke sungai yang mengarah ke arah istana Fir'aun. Seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Qur'an ada ayat yang menyebutkan hal ini: 

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susukanlah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikanya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentara-tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah istri Fir'aun;" (ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedangkan mereka tiada menyadari. ( QS Al Qhashas 7-9).
Inilah sepenggal kisah seorang raja sangat zalim, hidup ribuan tahun lalu yakni pada pada zaman nabi Musa as. yang diabadikan dalam kitab suci al Qur’an. Kisah ini mengandung banyak hikmah bagi kehidupan sekarang ini. Walaupun Fir’aun telah tiada (mati), namun warisan negatifnya masih hidup bahkan berkembang di era reformasi ini. Penulis menyebut warisan negatif Fir’aun dengan istilah Fir’aunisme. Jadi Fir’aunisme adalah sebuah watak, prilaku buruk yang merupakan warisan Raja Fir’aun yang akhir-akhir ini dihidupkan kembali oleh para pemegang kekuasaan (birokrat) dari pusat sampai ke bawah, di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Karakteristik Fir’aun
Apabila kita renungkan dari penjelasan QS. Al-Qashash: 3-6 tersebut, maka paling tidak ada empat karakter warisan Fir’aun yang sekarang ini sengaja dihidupkan kembali di Kantor-kantor Departemen, Dinas-dinas Instansi, dan bahkan di Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Tujuan Fir’aunisme tersebut tiada lain untuk memenuhi kepentingan nafsu para pemegang kekuasaan (Birokrat) dan kelompoknya (firqahnya) mumpung ada kesempatan. Keempat karakteristik tersebut antara lain : 
Pertama; menyalah gunakan wewenang untuk kepentingan kekuasaannya. Ia sengaja membuat peraturan dan kebijakan yang menguntungkan bagi dirinya dan kelompoknya. Tidak peduli apakah peraturan dan kebijakannya tersebut menzalimi rakyat (bawahan) atau tidak, yang penting terwujud harapan dan cita-citanya. Ia sanggup dan siap mengangkat siapa saja untuk menduduki jabatan tertentu, asal yang diangkatnya itu memenuhi persyaratan yang ia ajukan yaitu D3: duit, dekat, dulur. Kapabel, pandai, cekatan, terampil, professional, dan ahli dibidangnya adalah persyaratan yang tidak diperhitungkan alias tidak penting. Padahal jabatan adalah amanat dari Allah yang harus diemban eksistensinya. Ingatlah sabda Nabi Muhammad Saw. “Apabila suatu Amanat (jabatan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” 
Kedua; menjadikan penduduknya / rakyatnya berpecah belah. Ia sengaja membuat maneuver dan kebijakan tidak populer yang membuat rakyat menderita dan terpecah belah. Seperti menaikan harga sembako pada saat rakyat menjerit terhimpit masalah ekonomi yang semakin sulit. Biaya perjalanan haji yang semakin selangit dan Kebijakan tidak bersatunya hari raya sangat membuat masyarakat kebingungan. Belum lagi membuat kebijakan yang sangat merugikan kelompok tertentu yang mengakibatkan 
munculnya kelompok-kelompok lain yang sakit hati atau yang populer disebut Barisan Sakit Hati (BSH), dan lain-lain.


Ketiga; menindas segolongan mereka. Ia tidak segan-segan menindas siapa saja yang menghalangi langkah – langkahnya, walaupun teman dekatnya atau saudaranya sendiri. Begitulah nasib orang yang sudah ditutup telinga, mata, dan hatinya. Ia telah dibutakan oleh ambisinya, sehingga telinganya budek, mata dan hatinya picek tidak bisa melihat indahnya kebenaran. Apabila seseorang telah dibutakan mata dan hati nuraninya, maka ia diibaratkan oleh Allah bagaikan binatang, bahkan lebih rendah dan hina daripada binatang. Seperti digambarkan dalam al Qur’an: QS. 7:179.
Ary Ginanjar Agustian (2005) seorang penulis Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual mengatakan bahwa ada tujuh faktor yang menjadi penyebab terbelenggungnya hati manusia, sehingga hati tersebut gelap, buta, tidak bisa melihat kebenaran nilai-nilai ilahiyah. Adapun ketujuh belenggu itu adalah: 1) Prasangka negatif (Su-ud zhonn), 2) Prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, 3) Pengalaman yang membelenggu pikiran tidak merdeka, 4) Kepentingan hawa nafsu, 5) Sudut pandang yang picik, 6) Pembanding (merasa pikiran sendiri lebih baik dari pada yang lain), dan 7) Literatur yang mempengaruhi berpikir seseorang.
Keempat; menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Inilah watak dan tabiat Fir’aun yang paling kejam. Ia tidak mau ada yang menyaingi dan oposisi dalam kekuasaannya, sehingga tidak segan-segan ia membunuh setiap anak laki-laki yang baru dilahirkan. Karena bagi dia kaum laki-laki adalah ancaman bagi kekuasaannya. Maka daripada setelah besar anak laki-laki itu menjadi ancaman bagi dirinya, lebih baik dibunuh setelah lahir. Tapi walaupun demikian Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa tidak buta melihat kezaliman sang Fir’aun, maka muncullah Musa as. sebagai seorang reformis yang diutus Allah untuk menghancurkan kekuasaan Fir’aun yang zalim berdasarkan firman Allah:
 “ Pergilah kamu berserta saudara kamu dengan membawa ayat-ayat-Ku dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melewati batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut. Berkatalah mereka berdua: "Ya Tuhan kami sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melewati batas. Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku berserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". Maka datanglah kamu berdua kepadanya {Fir'aun} dan katakanlah: "Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Isra'il bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti {atas kerasulan kami} dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk." (QS. Thaha : 42-47)
Pemahaman dari karakter Fir’aun yang keempat ini adalah pada era reformasi seperti sekarang ini ternyata masih banyak diantara para pemimpin kita yang tidak segan-segan menyingkirkan dan membunuh karakter setiap orang (bawahannya) yang mempunyai jiwa dan semangat seperti laki-laki, vokal menegakkan dan menyuarakan kebenaran (alhaq). Misalnya dengan cara dijegal kariernya atau mungkin dimutasi ke tempat yang tidak strategis bagi dirinya. Sementara orang (bawahan) yang mempunyai mental atau karakter seperti perempuan, ia hidupkan dengan diberi jabatan atau fasilitas yang baik dan memadai.

Padahal dia tidak kapabel atau tidak mempunyai skill yang memadai dibidang jabatannya itu. Na’udzu billahi min dzalik.
Akibat dari karakteristik Fir’aun di atas, maka Fir’aun bersama golongannya diazab oleh Allah Swt. Seperti dalam firmanNya:
"Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al A'raf: 130). " Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa". ( QS. Al A'raaf: 133).

Sebagai penutup Penulis mengingatkan (tadzkirah) kepada para penguasa agar bersifat adil kepada rakyat (bawahan), bertindak professional dalam bekerja, dan tegakkan aturan main yang berlaku. Tidak semestinya membuat aturan sendiri lalu dilanggar sendiri. Ingatlah bahwa jabatan adalah amanat Allah yang harus diemban dengan baik, sebab kelak pada hari Kiamat jabatannya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah rabbul ‘izzati. Apabila melanggar aturan tuhan tersebut, bersiap-siaplah menerima azab dari tuhan seperti yang dialami Fir’aun bersama golongannya. Kepada sahabatku yang mempunya jiwa dan semangat seperti Musa as. (neo musa) jangan pernah berhenti apalagi padam dalam menyuarakan kebenaran. Yakinkan bahwa Allah selalu berpihak kepada kebenaran (alhaq). Semoga.

* Mursana, M.Ag; Penyuluh Agama Islam Kec.Plumbon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar