Jumat, 21 Agustus 2009

Tatakrama Belajar Dalam Islam

Oleh : Mursana


Sejak manusia dilahirkan ke alam dunia, tak pernah luput dari dirinya hak dan kewajiban yang selalu menyertainya dalam mengarungi kehidupan di dunia. Salah satu hak dan sekaligus kewajiban yang manusia kerjakan adalah menuntut ilmu (belajar). Belajar merupakan hak yang patut dimiliki oleh manusia, karena dengan belajar manusia akan mendapatkan ilmu, di mana ilmu merupakan salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Adapun belajar dikatakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, karena tanpa belajar manusia tidak akan pernah dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang harus dia tunaikan di muka bumi ini. Bahkan bagi seorang muslim kewajiban belajar ini sangat ditekankan sekali, karena ada Hadist yang menerangkan bahwa ”Menuntut ilmu (belajar) itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (H.R. Ibnu Majah). Hadist itu wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin, karena merupakan suatu tuntutan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Yang patut kita turuti sebagai suatu bentuk ketaatan kita terhadap rasul setelah ketaatan yang dilakukan kita kepada Allah.

Dewasa ini kesadaran masyarakat untuk menuntut ilmu (belajar) sudah menunjukkan tanda-tanda yang cukup memuaskan, bahkan menuntut ilmu (belajar) di suatu lembaga pendidikan yang favorit sudah menjadi gengsi yang tinggi di kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah dan kelas atas. Melihat fenomena tersebut sangatlah dikhawatirkan tujuan dari pendidikan yang sebenarnya tidak bisa dicapai oleh anak didik, tetapi pendidikan nantinya hanya akan digunakan untuk menutupi rasa egonya yang tinggi. Bagi kalangan masyarakat muslim hal tersebut tidak boleh sampai terjadi, karena di dalam Islam terdapat suatu ajaran mengenai tatakrama dalam menuntut ilmu (belajar). (Al-Baqi : 1995)

Tatakrama Belajar Dalam Islam

Islam sebagai agama samawi yang terakhir, dikenal sebagai agama yang paling universal diantara agama-agama samawi lain yang ada sebelum Islam. Keuniversalan Islam dikarenakan ajarannya yang bersifat universal terhadap semua sendi-sendi kehidupan. Sehingga tatakrama dalam menuntut ilmu (belajar) pun ikut tercakup dalam ajaran Islam. Tatakrama menuntut ilmu (belajar) dalam Islam itu diantarannya:

1) Membetulkan Niat

Pertama kali yang diminta dari seorang pelajar khususnya dalam ilmu syara’ adalah membetulkan niat (Al-Zarnuji : tt). Ia harus siap mengusahakan dirinya dirinya ikhlas, meninggalkan motif-motif lain kecuali niat membaktikan ilmunya dalam rangka mencari ridha Allah Swt dan bekal untuk di akhirat. Ia tidak dibenarkan memasang niat untuk menandingi ulama atau “mengibuli” orang-orang bodoh, atau mengumpulkan harta, atau pangkat atau apa saja yang biasa dicari manusia berupa perhiasan dunia sehingga ia menjual yang kekal dengan yang fana, yang agung dengan yang hina, dan “harta” yang banyak dengan yang bernilai rendah. Kalaulah hal ini dibolehkan bagi orang yang berkecimpung dalam menuntut ilmu dunia, bagi mereka yang mencari ilmu akhirat tidak dibolehkan. Ada sebuah hadist shahih yang mengandung ancaman pedas terhadap orang-orang yang amalnya dirusak oleh ria, mereka dipindahkan dari kelompok mukhlishin dan shiddiqin (orang-orang ikhlas dan orang-orang benar) ke kelompok orang-orang ria dan pendusta. Orang-orang seperti inilah yang pertama menerima sengatan api neraka.

Sebagian besar pelajar dewasa ini berkecimpung di dunia pendidikan tidak dengan niat mencari ridha Allah dan untuk bekal di akhirat, tetapi mereka menerima pengarahan – sejak kecil – dari orang tua mereka agar memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran tertentu atau keseluruhannya.

Mereka digiring oleh situasi dan kondisi tertentu seperti tidak adanya fasilitas untuk mempelajari bidang studi apa saja sesuai dengan keinginan dan bakat si pelajar. Oleh karena itu, mereka tidak mau harus menerima yang ada, rela atau tidak rela. Kalau pada kenyataan, misalnya, mereka belajar di lembaga pendidikan agama, atau madrasah, sesungguhnya bila mereka disuruh memilih itu sekarang, mereka tidak akan memilih jalan itu. Ini berarti, belajar tanpa niat, karena si pelajar terpaksa atau dipaksa memilih itu tanpa adanya peluang untuk memilih. Padahal niat itu hanya ada pada bila adanya peluang pilihan.

Selayaknya yang sekarang ini sudah terjun ke dunia itu, hendaknya membetulkan kembali niatnya, memupuk niat yang jujur. Dengan begitu ia akan memperoleh ilmu yang dipelajarinnya – ilmu Al Qur’an, Sunnah, dan sebagainya. Sebagai ilmu yang dapat memberi kebaikan dalam hidupnya.

2) Kesinambungan Belajar

Ilmu itu bagaikan lautan yang tak berdasar dan tak bertepi. Setiap kali pelajar menyelami lebih dalam, dihadapannya terbuka pintu-pintu baru, tersingkap baginya kawasan yang sebelumnya tersembunyi. Kesemuanya menuntut pengkajian dan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan dituntut terus menambah ilmu. Dia harus belajar terus sepanjang hidup. Ilmu senantiasa membutuhkan pembaharuan dan pengembangan. Tidak ada suatu penjelasan lagi terhadap perintah kepada Rasulnya yang berbunyi: “Dan katakanlah, Tuhan tambahkanlah ilmuku.” (Thaha : 114). Al-Qur’an dan Rasulullah mengisahkan kepada kita Musa a.s dalam menuntut ilmu, melacak apa yang belum diketahuinnya kepada Abdullah al-Khidhr a.s (Al-Baqi : 1995).

Tidak disangsikan lagi, tersebar di kalangan kaum muslimin kata hikmah yang berbunyi: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur”. Adapula kata hikmah yang berbunyi: “Selagi orang mencari ilmu, ia tidak pernah merasa berilmu. Apabila ia berprasangka bahwa dirinya berilmu, berarti sesungguhnya ia bodoh”.

3) Sabar Menghadapi Ujian dalam Menuntut Ilmu

Salah satu etika orang belajar di dalam agama Islam adalah bahwa seorang pelajar harus menyiapkan dirinya menghadapi cobaan, mengisi siang dengan gadangan dan di malam harinya, bersabar menghadapi derita pengelana demi menuntut ilmu (Al-Baqi : 1995). Seorang pelajar pun harus memiliki mental Musa Kalimullah (orang yang diajak bicara oleh Allah) seperti terdapat di dalam Al-Qur’an dan dikemukakan pula oleh Rasulullah Saw. Musa kalimah mengelana guna mencari ilmu kepada seorang hamba bernama Khidhir a.s. Di dalam Al-Qur’an dikatakan : “Ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tak kan berhenti mengelana sebelum sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi : 60).

Salah satu jenis kesabaran yang terpuji dan harus dimiliki oleh seorang pelajar adalah kemampuan bersabar bersama guru (Santri Liboyo : tt). Ia harus mampu menerima dengan lapang bila gurunya adalah orang yang keras, mampu menerima kemarahan jika gurunya marah, ia pun harus menghormati gurunya yang sedang diam. Contoh terbaik untuk hal ini adalah Musa a.s. terhadap gurunya Khaidhir a.s. Musa a.s. memohon kepada Khidhir a.s. “Bolehkah aku mengikuti engkau agar engkau mengajariku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang diajarkan kepada engkau?” (Al-Kahfi : 66). Nabi Khaidhir a.s pun berkata, “Bagaimana mungkin engkau mampu bersabar atas sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara memadai?” Musa a.s. menjawab atas perkataan gurunya itu, “Engkau akan melihat diriku Insya Allah mampu bersabar, dan aku tidak akan melawan perintah engkau (keputusan engkau)”. Khidhir a.s. pun menjawabnya lebih lanjut, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah sekali-kali engkau tanya aku tentang sesuatu sebelum aku ceritakan duduk persoalannya kepada engkau” (Al-Kahfi : 66-70).

Inilah jenis kesabaran yang teguh lebih berat daripada kesabaran dalam pengenalan manapun, lebih berat daripada kefakiran. Oleh karena itu, Musa a.s. hanya mampu bersabar dalam batas tertentu yang cukup lama. Tetapi ia tidak bisa memperpanjang kesabaran lebih jauh lagi. Oleh sebab itu Khidhir a.s berkata kepada Musa a.s. “Inilah titik perpisahan antara aku dengan engkau. Aku akan ceritakan kepada engkau tafsiran hal yang engkau tak mampu manahan sabar.”

4) Menghormati Guru

Salah satu etika orang yang belajar yang dituntun oleh hadits nabi adalah menghormati guru sesuai dengan haknya. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya orang tua terhadap anaknya. Bahkan Yahya bin Mu’az mengatakannya, “Ulama (guru) lebih mengasihi umat Muhammad ketimbang ibu bapa mereka sendiri.” Ketika ditanya mengapa demikian, Yahya menjawab, “Karena ibu-bapak mereka hanya menjaga mereka dari api dunia, sedangkan ulama menjaga mereka dari api akhirat.” Berdasarkan alasan ini, menurut Al-Ghazali, hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua (Al-Zarnuji : tt). Orang tua adalah sebab lahirnya seseorang dalam kehidupan fana, sedangkan guru menjadi sebab seseorang berada dalam kehidupan abadi (akhirat). Guru (guru ilmu akhirat atau ilmu dunia yang bertujuan akhirat) adalah orang yang memberikan makna hidup di akhirat.

5) Baik dalam Bertanya

Bukan termasuk jenis penghormatan terhadap guru dan orang pintar dengan jalan tidak menanyannya dengan pertanyaan yang membuat susah dirinya karena malu. Ini sama sekali bukan termasuk malu yang dibenarkan syara’ yang sebagian daripada iman dan sama sekali tidak mendatangkan kebaikan, tetapi sebagai kelemahan dan kerendahan mental. Oleh karena itu Mujahid mengatakan, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan mempelajari ilmu. “Dalam hal rasa malu ini Aisyah r.a. berkata, sebagus-bagus wanita adalah wanita Anshar, rasa malunya tidak menghambat mereka untuk ber-tafaqquh (mendalami) agama” (Al-Baqi : 1995). Wallahu a’lam bishshawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Khadim alharamain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Saudi Arabiyah : Mujamma’ al malik Fahd, 1418 H.

2. Syekh Yusuf Muhammad al-baqi, Diwan As-Syafi’i, Makkah Almukarromah : Al Maktabah at-tijariyah, 1995.

3. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Darul Fikr, 1989

4. Al-Zarnuji, Ta’lim al muta’allim, Indonesia : Darul Ihya Arabiyah, tt

5. Santri Lirboyo, Kumpulan Sya’ir Ala-la, Lirboyo Kediri, tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar