Minggu, 09 Agustus 2009

BERGURU KEPADA KANJENG SUNAN

Cirebon mempunyai sejarah masa lampau yang sangat cemerlang, sehingga terkenal di seantero Nusantara. Seorang tokoh yang telah berhasil mengislamkan Cirebon khususnya dan Jawa Barat pada umumnya adalah Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih masyhur dengan sebutan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Ketika masih hidup dan memimpin Cirebon, Beliau berwasiat kepada masyarakatnya “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin.” Dengan konsep kepemimpinan inilah, sehingga rakyat Cirebon aman, sejahtera, subur dan makmur.
Dengan demikian, apabila warga Kabupaten Cirebon mengingnkan daerahnya aman, sejahtera masyarakatnya (ekonomi, pendidikan, kesehatan terpenuhi), subur tanahnya dan makmur kehidupan rakyatnya, maka harus dipimpin oleh pemimpin yang bersungguh-sungguh melaksanakan wasiat sang Waliyullah tersebut.

Makna Wasiat Sunan Gunung Jati
Apa makna sesungguhnya di balik wasiat “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin” sehingga Beliau berhasil memimpin Cirebon. Dalam tulisan ini akan diuraikan secara jelas pemahaman makna dari wasiat kanjeng sinuhun, sebagai berikut:
Pertama, Ingsun titip Tajug. Beliau berpesan agar wong Cirebon selalu memelihara Tajug. Tajug adalah masjid tempat umat Islam melakukan ibadah ritual (Mahdhoh) seperti sholat lima waktu: Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Di manapun dan dalam keadaan apapun wong Cirebon, jangan pernah meremehkan, apalagi melupakan tajug. Tajug harus dimakmurkan dengan kegiatan ibadah ritual seperti sholat dan dzikir dan ibadah sosial seperti pemberdayaan umat melalui pendidikan Madrasah Diniyah, TKQ dan TPQ, juga melalui pengembangan ekonomi keumatan. Tentu saja harus diawali oleh Bupati dan jajarannya termasuk para Kepala Dinas yang ada di bawahnya. Bagaimanapun juga mereka itu adalah seorang Imam yang harus diikuti dan diamini segala program dan aksinya oleh makmum/rakyat.
Pada masa Khulafaur Rosyidin, Abu Bakar As Shidiq kenapa terpilih oleh para shahabat lainnya sebagai khalifah/pengganti Rasulullah Saw.? Karena didasarkan kepada suatu peristiwa ketika Rasulullah Saw. tidak ke masjid beberapa hari (sebab sakit), lalu Beliau menyuruh Abu Bakar As Shidiq untuk menjadi Imam Masjid sebagai penggantiNya. Berdasarkan dari kepemimpinan sholat dan manajemen masjid inilah Abu Bakar terpilih sebagai seorang pemimpin pengganti Rasulullah Saw. Dan ternyata Dia sukses mengemban tugas ini, sehingga Islam semakin berkembang sampai ke luar negeri Arab.
Hikmah apa yang bisa dipetik dari kepemimpinan sholat dan manajemen masjid? 1) Kedisiplinan (almatiin) waktu dalam menjalankan tugas. Bisa dilihat, bagaimana giatnya umat Islam menjalankan ibadah sholat, bila waktu telah tiba, baik di waktu siang maupun malam. Karena sholat harus didirikan pada waktunya, begitu kata firman Allah Swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Juga disiplin dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi antara Imam dan Makmum. Kewajiban makmum adalah mengikuti program dan kebijakan seorang Imam. Maka jika Imam berdiri, makmum juga harus berdiri. Imam sujud, makmum juga harus sujud. Begitu juga jika Imam duduk, makmum juga harus duduk dan seterusnya. Belajar dari sholat inilah seorang pemimpin dan yang dipimpin harus disiplin waktu dalam menjalankan tugas sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kedisiplinan saja tidak cukup, maka harus dibarengi dengan yang ke 2) Tanggung jawab (Al-Wakiil) dalam menjalankan tugas. Orang yang sholat sangat bertanggung jawab, karena kelak sholatnya itu akan dimintai pertanggungjawaban pada hari akhir nanti. Sesuai dengan hadits Rasulullah Saw., bahwa amal yang paling pertama ditanya pada hari kiamat adalah sholat, bila sholatnya baik maka baiklah amalan yang lain. Bila sholatnya jelek maka jeleklah amalan yang lain. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyat, dengan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ini terlihat dalam sholat, ketika Imam harus bertanggungjawab kepada para jama’ahnya sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. 3) Menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran (Al-Mu’min). Di dalam sholat diajarkan agar setiap orang Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, hal ini bisa dirasakan ketika seseorang melaksanakan sholat, ia tidak berani sedikitpun untuk mengurangi atau menambahi raka’at sholat. Inilah perwujudan dari nilai-nilai kejujuran. Kejujuran seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan rakyat. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini disebabkan karena hilangnya nilai-nilai kejujuran di kalangan para pemimpin. 4) Bekerjasama (al jami’). Ibarat mendirikan sebuah bangunan, diperlukan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak agar bangunan itu bisa selesai dengan sempurna. Begitu pula dengan mendirikan sholat berjama’ah, diperlukan juga kerja sama antara Muadzin, Imam dan Ma’mum. Seorang pemimpin tidak ada apa-apanya tanpa adanya kerjasama dengan bawahannya. 5) Menegakkan keadilan (al’adlu). Bagi jama’ah shalat yang datang lebih dulu maka barisannya menempati jajaran paling depan. Sedangkan bagi jama’ah yang datangnya terlambat harus menempati jajaran paling belakang. Ketika Imam sujud, semua jama’ah (ma’mum) wajib sujud apapun status sosialnya di masyarakat. Demikian juga ketika Imam berdiri, ruku, atau gerakan shalat lainnya, dalam keadaan apapun, ma’mum wajib mengikuti Imam. Termasuk keadilan dalam sholat lainnya adalah adanya dispensasi (rukhsah). Seperti ketika seorang mau melakukan perjalanan jauh, maka ia boleh melaksanakannya dengan dijama’ (digabungkan 2 sholat: Zhuhur dengan Asar dan Magrib dengan Isya’) atau bisa juga dengan menggunakan qhasar (meringkas empat raka’at menjadi rua raka’at). Seorang pemimpin tidak boleh tebang pilih dalam mengambil kebijakan. Walaupun ketika Pemilihan ada beberapa wilayah yang tidak memilihnya, maka ketika menjadi seorang Pemimpin tidak boleh memarjinalkan wilayah tersebut. Jadi harus bersikap adil dan tidak ada diskriminatif. 6) Mempunyai visi ke depan (al-akhir). Visi di dalam sholat adalah Assalam (kesejahteraan dan kedamaian). Seorang Pemimpin harus punya visi yang mampu menyejahterakan rakyat dan menjadikan daerahnya aman dan damai sehingga masyarakat kondusif. 7) Mempunyai kepedulian yang tinggi (Assami’ dan al bashiir). Imam harus melihat dan mendengar keadaan jamaahnya. Lafadz “Amiin” diucapkan ma’mum adalah symbol suara rakyat yang harus selalu didengar. Sedangkan lafadz “salam” dengan menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri adalah symbol seorang Pemimpin harus bisa melihat keadaan rakyatnya (peduli). Setelah melihat dan mendengar lalu bagaimana solusinya memecahkan problematika sosial ini. 8) Demokrasi harus dipelihara. Ketika Imam itu salah atau lupa dalam gerakan sholat, lalu ma’mum mengingatkannya dengan bacaan “Subhanallah” maka Imam harus memperhatikan aspirasi ma’mum. Begitu pula ketika Imam itu lalai dalam salah satu bacaan shalat dan makmum mengingatkannya, maka Imam harus introspeksi diri dengan cara sujud sahwi. Seorang Pemimpin tidak boleh menutup mata dan telinga, harus bisa menerima apabila dikritik atau diingatkan oleh rakyatnya. Jangan lupa Pemimpin juga manusia: bisa benar, bisa juga salah. Tajug adalah simbol kesinergian antara hamba dengan Tuhannya dengan istilah al-Qur’annya hablum minallah. Karena walaupun bagaimanapun hidup di dunia ini tanpa Allah tidak ada apa-apanya. 
Kedua, ingsun titip fakir miskin. Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia (hablum minannas). Prioritas utama kepemimpinan sekarang adalah mengentaskan kemiskinan dengan cara memperbanyak lapangan pekerjaan: bangkitkan kembali industri rotan, batik, pertanian agar tidak banyak yang menganggur. Prioritas kedua adalah menstabilkan ekonomi kerakyatan: turunkan harga minyak dan sembilan bahan pokok makanan. Prioritas ketiga adalah pendidikan dan kesehatan gratis untuk wong cilik. Apabila wasiat Kanjeng Sinuhun ini benar-benar dilaksanakan oleh pemimpin sekarang, Insya Allah kabupaten Cirebon menjadi Kabupaten yang Baldatun Thayibatun wa rabbun ghofuur (Daerahnya subur, makmur, aman, sejahtera, dan dalam ampunan Allah). Sebaliknya bila pesan tersebut diabaikan oleh pemimpin sekarang, maka bersiap-siaplah terkena musibah dan kehinaan. Seperti diungkapkan dalam Al Qur’an : “Mereka ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dengan manusia” (Q.S Ali Imron : 112). Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar