Kamis, 18 Februari 2010

GURU : SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS

Oleh : TAUFIQ RAHMAN, M.Ag

Dalam bahasa Arab, dijumpai kata ustadz, mu’allim, mudarris, dan muaddib. Kata ustadz berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. Kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan lecturer (dosen). Kata mu’allim juga berarti juga teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Selanjutnya, kata muaddib berarti educator (pendidik), teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an). (Abuddin Nata : 1997, h. 61). Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan ini bisa siapa saja dan di mana saja.

Rabu, 10 Februari 2010

MENJADI SANTRI KEHIDUPAN

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Dalam definisi Clifford Geerts (1989) perkataan santri mempunyai arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid di suatu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Sedangkan dalam arti luas santri adalah bagian dari penduduk jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, shalat, pergi ke masjid pada hari Jum’at, mengaji dan lain-lain. Kegiatan keseharian santri, disamping mengaji juga dilatih kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban agama seperti sholat berjamaah dan puasa. Dalam banyak pesantren, seorang santri yang tidak ikut sholat berjama’ah dikenakan hukuman ringan yang sifatnya mendidik. Adakalanya hukuman berupa membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an atau membersihkan lingkungan pesantren. Ada lagi anjuran untuk melakukan puasa sunnah atau dzikir-dzikir tertentu secara kolektif yang dikerjakan pada waktu-waktu tertentu.

PESAN SPIRITUAL BULAN SHAFAR

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Dalam tarikh hijriyah shafar merupakan bulan ke dua setelah muharram. Menurut Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus shafar-ashfar berarti kosong atau angka nol. Jadi shafar adalah bulan untuk mengosongkan segala kotoran atau membersihkan jiwa dan raga dari berbagai amalan yang cenderung mengandung unsur noda dan dosa. Pada bulan ini sebagian masyarakat Cirebon masih mempercayai bahwa shafar adalah bulan musim kawin hewan (hingga sering terdengar ungkapan bahwa safar, bulan kawin anjing). Menurut penuturan beberapa Kepala KUA di Kabupaten Cirebon, hampir setiap bulan shafar sepi dari acara pernikahan. Disamping itu juga bulan shafar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau bala’ terlebih lagi pada hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah “Rebo Wekasan”. Di beberapa wilayah, sebagian masyarakat tidak melakukan pekerjaan yang berat atau bepergian pada hari rebo wekasan. Mereka berkeyakinan, apabila melakukan hal-hal di atas maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal sampai saat ini masih belum ada literature yang valid dan dapat dipercaya dari mana asal-usul keyakinan tersebut.
Ada tiga tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat Cirebon setiap bulan shafar, yaitu: “Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan”. Ketiga macam kegiatan tersebut selanjutnya disebut shafaran. Pertama, upacara ngapem. Menurut beberapa sumber dari orang tua jaman dulu (para sepuh) bahwa Ngapem berasal dari kata Apem yaitu membuat kue adonan yang terbuat dari tepung beras yang di fermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Mayoritas masyarakat Cirebon masih melakukan tradisi ngapem ini dengan membagi-bagikannya kepada tetangga yang bertujuan untuk mengungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta/alkhaliq (Selametan berbentuk shadaqah apem) di bulan sapar supaya terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka. Sebab nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa Shadaqah adalah dapat menolak bala’(musibah).
Dari tradisi ngapem tersebut paling tidak ada dua pesan moral yang di patut diambil hikmahnya, yaitu: 1) tradisi ngapem sebagai symbol bahwa masyarakat Cirebon harus senantiasa memperhatikan nasib kaum fakir miskin, anak yatim, dan kaum dhu’afa lainnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw., 2) tradisi ngapem melambangkan tentang pentingnya shilaturrahim antar tetangga dan kerabat dekat karena di bulan ini penuh dengan musibah. Mudah-mudahan dengan tradisi ngapem (tawassul dengan shodaqah apem) ini masyarakat Cirebon terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka.
Kedua, upacara ngirab. Secara bahasa ngirab berarti menggerakkan sesuatu untuk membersihkan berbagai kotoran. Dalam catatan Carubannagari; pada bulan shafar ini konon di yakini oleh Sunan kalijaga, untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan beliau mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Hal ini akhirnya di ikuti oleh masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi di tempat yang di yakini dulu oleh Sunan kalijaga. Selanjutnya tradisi ini disebut “Ngirab” artinya menggerakan sesuatu untuk membuang yang kotor.
Pelajaran yang bisa diambil dari tradisi ini, ngirab merupakan symbol pertaubatan. bahwa untuk menjauhkan diri dari datangnya berbagai musibah, masyarakat Cirebon harus melakukan ngirab, pembersihan diri dari berbagai kotoran, noda, dan dosa atau hal-hal yang mengarah kepada kemaksiatan/munkarat dengan memperbanyak taubat dan minta ampun kepada Allah (istighfar).
Ketiga, upacara Rebo Wekasan. Rebo Wekasan berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti hari rabu terakhir di bulan shafar. Dalam beberapa sumber kitab klasik disebutkan bahwa sebagian al’arifin (ahli ma’rifat) berpendapat, sesungguhnya di dalam setiap tahun diturunkan 320.000 bala’. Semuanya itu terjadi pada hari rabu terakhir (rebo wekasan) bulan shafar. Maka barangsiapa yang mendirikan shalat pada hari itu 4 raka’at dengan membaca Surat al-Kautsar 17 kali setelah Surat Al-Fatihah di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do’a setelah salam: Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma yaa syadiidal quwaa wa yaa syadiidal mihal, maka Allah akan menjaganya dari semua bala’ atau malapetaka dengan keutamaan dan kemulyaanNya.
Hikmah yang bisa dipetik dari tradisi yang ketiga ini adalah apabila akan terjadi suatu bencana atau musibah maka dianjurkan agar setiap insan lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) Sang Penguasa Alam Semesta dengan cara melaksanakan ibadah shalat, dzikir, dan do’a. karena setiap makhluk berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah jua, Wainnaa ilaihi raaji’uun. Disamping ketiga tradisi tersebut, ada tradisi tawurji yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar dengan berselendangkan sarung dan berpeci, mendatangi orang-orang yang ada di toko-toko atau perumahan-perumahan untuk meminta infaq dengan mengucapkan: “Wur tawur Ji- tawur-selamet dawa umur” (pak haji-bu haji, beri aku infaq, semoga panjang umur) yang disenandungkan secara berulang-ulang. Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan tawurji.
Demikian beberapa pesan spiritual yang bisa diambil dari tradisi shaparan (penuh symbol) semoga masyarakat Cirebon senantiasa melestarikan budaya ini sepanjang masa. Amiin.

KUNCI SUKSES

Oleh: Drs. H. Rifa’i, M.Pd*
“Saya tidak besar, saya tidak tangguh, saya tidak kuat, saya hanyalah orang yang selalu bekerjasama, saya selalu melakukan hal yang benar, maka dari itu saya berhasil”. Penggalan bait nyanyian tersebut sering kita dengar ketika menyaksikan anak-anak bermain di halaman rumah. Nyanyian itu kedengarannya sederhana, akan tetapi sangat berharga dalam memberikan inspirasi bagi kesuksesan hidup seseorang. Dari bait syair di atas paling tidak ada dua kunci kesuksesan bagi seseorang, yaitu selalu melakukan hal yang benar dan selalu bekerjasama. Jadi kalu kita ingin sukses lakukan dari sekarang hal-hal yang dianggap benar menurut aturan dan nurani serta jangan lupa bekerjasama dengan berbagai pihak; antara atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan, atau mungkin bawahan dengan atasan dalam hal yang benar tentunya.
Kedua hal itu kalau diteliti secara seksama ternyata merupakan bagian dari Al-Asmaul Husna yakni alhaq dan aljami’. Artinya kalau kedua ism itu diamalkan, kita tidak hanya memperoleh kesuksesan di dunia tetapi juga di akhirat. Sukses di dunia diantaranya; menjadi orang besar, tangguh, kuat, dicintai dan dihormati masyarakat. Bukan karena jabatannya tetapi karena suka melakukan yang benar dan bekerjasamanya. Sedangkan kesuksesan di akhirat adalah jaminan Allah masuk surga. Sebagaimana Rasulullah Saw.bersabda: “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Barang siapa yang berakhlak dengan salah satu dari akhlak-Nya (asmaul husna), ia akan masuk sorga.” (Al-Hadits).
Melalui tulisan ini Penulis mengajak kepada seluruh masyarakat, apapun statusnya untuk bersama-sama memelihara Al-Asmaul Husna sesuai dengan profesinya. Karena Allah pernah berfirman dalam kitab suciNya; “Dan kepunyaan Allahlah Al-Asmaul Husna (nama-nama yang agung/baik yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmaul Husna itu. Dan tinggalkanlah orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan” (Q.S. 7 : 180).
Ayat tersebut di atas merupakan perintah Allah, agar kita selalu berdo’a dan mengumandangkan nama-nama Allah yang agung dimanapun berada, apapun status sosial kita. Apakah sebagai pejabat pemerintah, pejabat di lingkungan TNI & POLRI, pemimpin perusahaan atau bahkan rakyat biasa. Dengungkan Al-Asmaul Husna di kantor, perusahaan, tempat bisnis, sawah, lading dan seterusnya. Selanjutnya Allah menyuruh agar kita meninggalkan orang-orang (baik sebagai pejabat atau rakyat) yang coba-coba mengotori, mencemarkan atau bahkan kata Ibnu Katsir yang menukil pendapat Ibnu ‘Abbas, “mendustakan” nama-nama yang agung tersebut. Kalau perlu kita lawan oran-orang yang mengotori kasih sayang dan kejujuran, yang menodai keadilan dan mengotori nama-nama Allah yang lainnya. Jangan lupa siapa pun orangnya, apapun status sosialnya yang dengan sengaja mengotori nama-nama Allah yang Agung akan mendapat balasan kelak di akherat. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bisa menjaga (mengaplikasikan nilai-nilai) Asmaul Husna, maka ia masuk sorga” (H.R. Bukhori dan Muslim).
Disamping kedua kunci di atas, kesuksesan juga akan semakin kokoh dan sempurna tatkala berbagai pihak yang terkait saling membangun kepercayaan (amanah), tidak saling berkhianat. Untuk membangun kepercayaan sebaiknya melakukan langkah-langkah yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang sukses pada masa lampau. Langkah-langkahnya adalah: 1) ta’aruf, saling mengenal antar personal. Dari ta’aruf ini nantinya akan melahirkan, 2) tafahum, sebuah sikap saling memahami, menghargai dan toleransi keberadaan antar individu, misalnya pemimpin dengan bawahannya. Dari langkah ini akan membentuk, 3) tarahum,pribadi-pribadi yang saling sayang-menyayangi. Kalau langkah ini sudah tercipta, maka terbangunlah, 4) takamul, saling melengkapi atau menyempurnakan kekurangan antar personal. Setelah berhasil melakukan takamul, maka selanjutnya akan melahirkan, 5) takaful, sebuah pribadi yang menjunjung tinggi tanggungjawab terhadap profesinya.
Kelima langkah tersebut akan terbina tatkala setiap personal sadar diri, sadar posisi, dan sadar situasi. Sadar diri artinya kita harus menyadari siapa diri kita sesungguhnya. Sadar posisi maksudnya kita harus memahami posisi kita sebenarnya sebagai apa. Kalau sebagai bawahan, jangan coba-coba bertindak sebagaimana layaknya seorang pimpinan. Adapun yang dimaksud dengan sadar situasi adalah kita harus memahami berbagai situasi ketika akan melaksanakan sebuah program kerja.
Demikian beberapa langkah yang harus dilakukan apabila kita bertekad ingin menjadi orang sukses. Untuk memenuhi langka-langkah tersebut dibutuhkan keberanian dalam bertindak dan pengorbanan. Itulah resiko sebuah perjuangan. Semoga sukses selalu. Amiin.

*Drs.H.Rifa’i, M.Pd; Kepala Kandepag Kab. Cirebon

HATI NURANI

Oleh: Drs. H. Rifa’i, M.Pd*

Secara lughawy hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hajjatul Islam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat merangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk.
Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda,”Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”. Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah SWT. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak).
Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.”
Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah SWT., menjadi orang yang berkuasa misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Illahi (Hidayah); menegakkan amanah propesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani berantas kemungkaran misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, ketika hati nurani tidak ada pada hati manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapat cahaya Illahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Masih terngiang ditelinga kita, tiga tahun yang lalu bangsa ini sempat tercengang dengan peristiwa yang sangat menusuk hati yaitu pada bulan Maret 2007 di Malang Jawa Timur dikejutkan dengan berita seorang ibu membunuh dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya. Pada bulan Mei 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta dikejutkan dengan berita seorang ibu dan anaknya membakar diri hidup-hidup sampai mati di rumahnya. Pada bulan Agustus 2007, seorang ibu membunuh anak tirinya “Rasnah” kelas 1 SLTP, dengan alasan anak tersebut tidak mau cuci piring, di Pare-pare Sulawesi Selatan, pada awal bulan September 2007, seorang ibu di Batam membunuh dua orang anaknya. Dan yang lebih ngeri lagi di Maumere Nusa Tenggara Timur, seorang bayi berumur sembilan hari dianiaya ibunya, karena tekanan ekonomi. Na’udzu billahi min dzalik.
Berita-berita tersebut di atas menggambarkan bahwa apabila seorang manusia tidak bisa memfungsikan hatinya dengan baik sesuai dengan cahaya Illahi (tidak berhati nurani), mempunyai mata tidak bisa digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, tetapi tidak bisa digunakan untuk mendengarkan tanda-tanda kekuasaan Allah, maka bagi mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih jahat dari itu (baca : Q.S.7:179). Seekor induk Harimau atau Singa walaupun galak dan buas tidak akan pernah membunuh anak-anaknya. Tetapi manusia kenapa lebih buas dari pada seekor Harimau atau Singa, si raja hutan atau raja rimba? Jawabannya karena manusia seperti itu tidak mempunyai hati nurani, sehingga hilang sifat-sifat terpujinya seperti cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan lain-lain. Mereka bukannya tidak setuju dengan cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan lain-lain. Tetapi hati mereka itu tertutup belenggu/kepentingan, sehingga hawa nafsunya lebih dominan daripada suara hatinya.
Begitu pula dengan berbagai peristiwa penyimpangan di negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, penjarahan, pengrusakan, pembakaran, pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya, merupakan akibat dari hati manusia yang telah gelap. Semoga.

*Drs.H.Rifa’i, M.Pd; Kepala Kandepag Kab. Cirebon

Minggu, 31 Januari 2010

SPIRITUALISME HALAL BI HALAL

Oleh : Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon,alumni Pon-Pes Darussalam Ciamis)

Konon tradisi halal bi halal yang dilakukan umat Islam Indonesia sudah berjalan sejak jaman dulu kala, namun tidak diketahui sejarahnya dari mana asal usul-usul kata ini populer ? Siapa yang paling pertama kali mempopulerkan istilah ini ? dan di mana istilah ini peretama kali diproklamirkan ? yang jelas, apabila selesai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan disempurnakan dengan zakat fitrah dan ditutup tanggal1 Syawal dengan sholat‘Idul Fitri dilanjutkan dengan acara halal bi halal. Acara ini dilaksanakan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Mulai dari kalangan pejabat, birokrat tingkat atas sampai tingkat bawah, masyarakat umum. Biasaya acara ini berlangsung sampai dengan akhir bulan Syawal. Modelnya bermacam-macam; ada yang mengundang muballigh, ada yang mengundang artis, bahkan ada yang cuma kumpul-kumpul biasa sambil ngobrol ngalor ngidul dan makan bersama antar keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar, lalu ditutup dengan salam-salaman; saling maaf memaafkan antar peserta halal bi halal. Yang pasti dalam acara tersebut terlihat suasana kekeluargaan, persaudaraan dan keakraban. Seolah-olah antar peserta tidak punya beban masalah apapun.
Menurut Quraish Shihab (1992:317), Halal bi halal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, diapit oleh satu huruf (kata penghubung) ba’ yang dibaca bi. Kalau kata majemuk tersebut diartikan seperti yang ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia, yakni “acara ma’af memaafkan pada hari lebaran,” maka dalam halal bi halal terdapat unsur silaturrahim.
Halal bi halal sesungguhnya adalah hasil kreasi umat Islam Indonesia sendiri dan telah menjadi perbendaharaan kata keagamaan serta telah melembaga di kalangan umat Islam Indonesia, walaupun istilah itu tidak ada yang tahu, sejak kapan, dari mana asal usulnya, dan apa latar belakang istilah tersebut.
Nilai Spiritual Halal bi Halal
Manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa, seperti dikatakan dalam pepatah Arab, “Al-Insaanu Mahalul Khatha’ wan Nisyaan”. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, maka kadang-kadang ia menyakiti perasaan orang lain. Orang yang disakiti boleh jadi ia akan marah, dan bila marah telah menyelinap dalam hati seseorang, maka dengan demikian orang yang telah menyebabkan orang lain itu menjadi marah, laksana telah memutuskan hubungan persaudaraan dan hubungan kasih sayang sesama manusia atau dengan perkataan lain telah memutuskan silaturrahim yang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW. pernah mengancam orang-orang yang memutuskan silaturrahim, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan kekeluargaan (memutuskan silaturrahim)”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Jika dikaji secara mendalam, tradisi halal bi halal akan menumbuhkembangkan nilai spiritual setiap individu. Adapun spiritualisme tersebut antara lain sebagai berikut :
Pertama : Halal bi halal merupakan wadah silaturrahim. Menurut Quraish Shihab, silaturrahim adalah kata majemuk yang diambil dari kata bahasa Arab; Shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang terputus dan yang terserak yang dituju oleh shilat itu. Sedangkan kata Rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Jadi silaturrahim adalah suatu aktifitas untuk saling menghubungkan atau menyambungkan tali persaudaraan/ kekeluargaan, sehingga menimbulkan kasih sayang seperti menyayangi anak kandung.
Banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang menganjurkan umat Islam agar gemar bersilaturrahim seperti tertulis dalam Kitab Subulus Salam:IV:160-162), diantaranya adalah Rasulullah SAW. bersabda : “Barang siapa yang menginginkan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka bersilaturrahimlah”.(HR.Bukhori). Hadits ini mengisyaratkan bahwa : a). Sesulit apapun rizki kita, asal mau bersilaturrahim, Allah pasti akan membukaan jalan keluarnya. Allah Swt. akan memberi rizki orang tersebut dengan tidak disangka-sangka. Rizki itu bisa melalui orang yang disilaturrahimi atau mungkin dari tetangga masyarakat sekitar dan dari tetangga jauh. Yang namanya rizki bukan hanya uang, bisa juga berbentuk materi yang lain seperti pakaian, kendaraan, perhiasan atau mungkin makanan. Atau bisa juga rizki itu berbentuk kesehatan jiwa dan raga. Semua anugrah Tuhan untuk manusia itu disebut rizki. b). Orang yang bersilaturrahim akan dipanjangkan umurnya. Maksudnya orang yang sedang dililit masalah kehidupan, setelah bersilaturrahim lalu ada yang memberi spirit/nasehat, sehingga dia kembali semangat dalam hidup, seolah-olah dia hidup kembali. Di dalam hadits lain Rasulullah Saw. mengancam orang yang sengaja memutuskan silaturrahim, seperti dalam sabdanya, “Sesungguhnya rahmat Allah Saw. tidak akan diturunkan kepada suatu kaum yang di dalamnya ada yang memutuskan silaturrahim” ini berarti rahmat Allah Swt. sangat bergantung pada silaturrahim.
Kedua : Halal bi halal sebagai wadah untuk saling memaafkan antar sesama. Saling memaafkan antar sesama merupakan sikap yang dianjurkan oleh Allah SWT. sebab dengan sikap tersebut, sikap dendam dan rasa marah dapat dihilangkan. Sifat dendam dan marah itulah sesungguhnya yang sering menyebabkan terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kekejaman. Oleh karena itu dengan mengedepankan sikap saling memaafkan (meminta dan memberi maaf), perbuatan tidak terpuji itu bisa dihindari. Memang diakui bahwa tidak semua dendam dan marah itu timbul akibat seseorang enggan meminta dan memberi maaf, tetapi yang jelas sikap enggan meminta dan memberi maaf dapat menimbulkan dendam dan marah seseorang. Selain itu, sikap saling memaafkan merupakan ciri orang yang taqwa. Oleh karenanya, orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain, nilai kepribadian dan ketaqwaannya sangat luhur. Itulah sebabnya sifat seperti itu senantiasa dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Saw. Sikap pemaaf Rasulullah Saw. Juga diteladani oleh para sahabatnya dan orang-orang sholeh. Dalam hal sikap saling memaafkan, Allah Swt. berfirman : “…. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S. Ali ‘Imran:134).
Semoga halal bi halal yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia semakin bertambah tahun semakin baik kwalitasnya. Nilai spiritual halal bi halal bukan hanya tumbuh ketika ’idul fitri tetapi juga tumbuh pada bulan-bulan lain, sehingga negeri ini menjadi negeri yang marhamah, suatu negeri yang tumbuh subur akan nilai-nilai kasih sayang dan saling memaafkan. Amiin

MEMBANGUN CITRA DEPARTEMEN AGAMA

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)


Tepat pada tanggal 03 Januari 2010 Departemen Agama Republik Indonesia memperingati Hari Amal Bhakti ( HAB ) ke 64. Dalam perjalanannya, dari masa ke masa, Departemen Agama tidak selamanya mulus. Kritikan demi kritikan dari berbagai pihak, baik yang bernada membangun maupun yang bernada melecehkan senantiasa menghampirinya. Namun berkat kegigihan dan kesabaran para pendirinya, Departemen ini masih berdiri tegak sampai sekarang ini.
Sejarah berdirinya Departemen Agama tidak lepas dari peran para Kyai Pondok Pesantren. Maka tidak heran kalau para pendiri dan menteri-menteri yang pernah menduduki Departemen ini adalah para Kyai atau jebolan pondok pesantren. Sebut saja misalnya: KH. Abu Dardiri dan KH. Sholeh Su’ady sebagai penggagas dibentuknya suatu kementerian yang menangani khusus bidang keagamaan. Adapun para menteri yang pernah menduduki Departemen yang mengurusi masalah agama di Negeri ini misalnya: HM. Rasyidi, KH. Fathurrahman Kafrawi, KH. Masykur, KH.A.Wahid Hasyim, KH.R.Faqih Usman, KH. Moh.Ilyas, KH.Wahib Wahab, KH.Saifudin Zuhri, KH.Moh. Dachlan, sampai dengan menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, hampir rata-rata para Kyai atau pernah belajar di Pondok Pesantren.
Kini Departemen Agama Republik Indonesia sudah berusia 64 tahun sejak berdiri. Sebuah usia yang mestinya cukup matang, dewasa, dan berpengalaman dalam mengurus masalah keagamaan di negeri yang beraneka suku, agama, ras, dan adat istiadat. Permasalahan kerukunan umat beragama, baik inter maupun antar umat beragama merupakan masalah paling serius untuk segera ditangani dengan tepat sasaran. Kasus penodaan agama oleh Ahmadiyah dan munculnya berbagai aliran sesat, walaupun persoalan ini sudah dianggap selesai, jangan lupa pengawasannya, sebab suatu saat nanti kasus penodaan agama dan munculnya aliran sesat bakal muncul lagi yang berakibat kerukunan umat beragama ternoda dan menimbulkan ketidak stabilan keamanan. Masalah KKN di Departemen ini yang masih menjadi sorotan publik, nampaknya masih kental. Pakta Integritas dan sumpah jabatan masih dalam tataran teori, sedangkan pengamalannya, tidak ada bedanya dengan Departemen lain. Masalah logo Ikhlas Beramal, kenyataannya para pejabat mau bekerja ikhlas kalau diberi bayaran yang banyak. Kalau tidak, terpaksa bekerja seikhlasnya. Juga masalah Penyelenggaraan Haji dan Umroh setiap tahun mengalami kekisruhan. Inilah barangkali beberapa contoh kasus yang membuat Departemen Agama hilang kepercayaannya di mata umat. Hal ini harus menjadi pekerjaan rumah (PR) prioritas Menteri Agama RI yang baru (Bapak Drs. Suryadarma Ali) untuk mengembalikan Citra Departemen Agama di mata Umat.
Ada beberapa langkah prinsip yang harus dilakukan oleh Keluarga Besar Departemen Agama dalam rangka mengembalikan Citra Departemen ini khususnya di Wilayah Jawa Barat, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami Visi dan Misi Depaertemen Agama RI sebagai titik tolak ukur dalam bekerja. Visi Departemen Agama RI adalah Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI. Sedangkan Misinya adalah: 1) Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan dan pelayanan kehidupan beragama, 2) Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan, 3) Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama, 4) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji, 5) Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan, 6) Memperkokoh kerukunan umat beragama, dan 7) Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia.
Untuk mendukung Visi dan Misi tersebut, maka seyogianya Karyawan Depag harus memiliki beberapa kriteria, diantaranya adalah: menjadi tauladan yang baik dalam hal keimanan dan ketaqwaan. Ciri Karyawan Depag yang beriman ialah karyawan yang mau diatur oleh Undang-undang atau peraturan dengan dicontohi oleh para pimpinannya. Sedangkan Taqwa ialah sikap hidup karyawan Depag yang diwujudkan dalam tata ucap dan prilaku menuju ridho Allah. Untuk itu dalam berbagai pertemuan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat selalu menyampaikan dalam pidatonya bahwa ”Jika tidak bisa berbuat baik; jangan berbuat salah. Maknanya adalah setiap karyawan Depag haram hukumnya melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, memahami Makna Logo Depag Ikhlas Beramal. Setiap karyawan Depag, tentunya dengan dicontohi pimpinannya, hendaklah senantiasa bekerja melayani umat dengan tulus ikhlas. Karena memang dibayar setiap bulan untuk melayani umat dengan bersungguh hati. Jangan sampai ada ungkapan yang muncul dari umat bahwa ada oknum pegawai Depag yang mau bekerja / beramal dengan ikhlas kalau dibayar banyak. Tetapi kalau tidak, terpaksa beramal seikhlasnya.
Ketiga, menyadari tugas PNS sebagai Abdi Negara. Tugas PNS adalah sebagai Abdi Negara. Abdi Negara berarti pelayan umat. Setiap karyawan Depag, baik staff atau pelaksana maupun pimpinannya berkewajiban melayani umat dengan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, yakni hanya mau dilayani saja.
Keempat, mencetak kader pemimpin professional dari karyawan berprestasi sesuai bidangnya. Pemimpin yang baik tentunya selalu memberikan perhatian khusus kepada kader yang berprestasi dan mengangkatnya sebagai calon pemimpin masa depan, bukan karena melihat kedekatannya, familinya, atau karena ketebalan isi kantongnya. Sebab apabila sembrono mengangkat seseorang yang tidak ahli dibidangnya, maka Departemen ini akan hilang wibawahnya di mata publik.
Kelima, memiliki jiwa qana’ah dan menghindari tamak terhadap harta. Inilah ajaran Islam yang disosialisasikan oleh para Kyai Pondok Pesantren sebagai pendiri Departemen ini. Nampaknya kedua sifat ini sudah tidak diminati lagi oleh sebagian karyawan Depag. Sehingga pungutan liar di Departemen ini masih kerap terjadi. Misalnya pungutan dana taktik dari setiap acara pernikahan yang tidak jelas penggunaannya, pemotongan gaji dan uang lauk pauk karyawan tanpa meminta ridho (istirdho) dari pemiliknya. Bentuk-bentuk ketamakan inilah yang akan membawa citra buruk Departemen yang didirikan oleh para Kyai Pondok Pesantren ini. Oleh karena itu waspadalah, jangan sampai seorang pemimpin salah menempatkan orang dalam bekerja. Para Kyai tidak akan rela kalau Departemen yang didirikan dengan susah payah ini hancur oleh oknum sebagian karyawan yang tidak mengerti pesan-pesan ajaran agama.
Keenam, besarkan Departemen Agama. Setiap karyawan Depag berkewajiban membesarkan Departemennya. Misalnya, dengan menyekolahkan anak-anaknya di MI, MTs, MA, STAIN, IAIN atau UIN. Yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, mereka lebih senang dan bangga menyekolahkan putra-putrinya di lembaga yang berada di naungan Diknas daripada Depag itu sendiri. Juga petugas Assesor angka kredit, kenapa lebih bangga mengambil dari Departemen lain? Apakah di Depag kekurangan para pakar? Sungguh sangat ironis.
Demikian beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh keluarga besar Departemen Agama dalam rangka membangun Citra Departemen Agama RI, khususnya di Wilayah Propinsi Jawa barat. Semoga diusianya yang ke 64 Depag semakin eksis dan kokoh di mata umat. Amiin.

BERGURU KEPADA KANJENG SUNAN

Oleh: Mursana, M.Ag

Cirebon mempunyai sejarah masa lampau yang sangat cemerlang, sehingga terkenal di seantero Nusantara. Seorang tokoh yang telah berhasil mengislamkan Cirebon khususnya dan Jawa Barat pada umumnya adalah Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih masyhur dengan sebutan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Ketika masih hidup dan memimpin Cirebon, Beliau berwasiat kepada masyarakatnya “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin.” Dengan konsep kepemimpinan inilah, sehingga rakyat Cirebon aman, sejahtera, subur dan makmur.
Dengan demikian, apabila warga Kabupaten Cirebon mengingnkan daerahnya aman, sejahtera masyarakatnya (ekonomi, pendidikan, kesehatan terpenuhi), subur tanahnya dan makmur kehidupan rakyatnya, maka harus dipimpin oleh pemimpin yang bersungguh-sungguh melaksanakan wasiat sang Waliyullah tersebut.

Makna Wasiat Sunan Gunung Jati
Apa makna sesungguhnya di balik wasiat “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin” sehingga Beliau berhasil memimpin Cirebon. Dalam tulisan ini akan diuraikan secara jelas pemahaman makna dari wasiat kanjeng sinuhun, sebagai berikut:
Pertama, Ingsun titip Tajug. Beliau berpesan agar wong Cirebon selalu memelihara Tajug. Tajug adalah masjid tempat umat Islam melakukan ibadah ritual (Mahdhoh) seperti sholat lima waktu: Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Di manapun dan dalam keadaan apapun wong Cirebon, jangan pernah meremehkan, apalagi melupakan tajug. Tajug harus dimakmurkan dengan kegiatan ibadah ritual seperti sholat dan dzikir dan ibadah sosial seperti pemberdayaan umat melalui pendidikan Madrasah Diniyah, TKQ dan TPQ, juga melalui pengembangan ekonomi keumatan. Tentu saja harus diawali oleh Bupati dan jajarannya termasuk para Kepala Dinas yang ada di bawahnya. Bagaimanapun juga mereka itu adalah seorang Imam yang harus diikuti dan diamini segala program dan aksinya oleh makmum/rakyat.
Pada masa Khulafaur Rosyidin, Abu Bakar As Shidiq kenapa terpilih oleh para shahabat lainnya sebagai khalifah/pengganti Rasulullah Saw.? Karena didasarkan kepada suatu peristiwa ketika Rasulullah Saw. tidak ke masjid beberapa hari (sebab sakit), lalu Beliau menyuruh Abu Bakar As Shidiq untuk menjadi Imam Masjid sebagai penggantiNya. Berdasarkan dari kepemimpinan sholat dan manajemen masjid inilah Abu Bakar terpilih sebagai seorang pemimpin pengganti Rasulullah Saw. Dan ternyata Dia sukses mengemban tugas ini, sehingga Islam semakin berkembang sampai ke luar negeri Arab.
Hikmah apa yang bisa dipetik dari kepemimpinan sholat dan manajemen masjid? 1) Kedisiplinan (almatiin) waktu dalam menjalankan tugas. Bisa dilihat, bagaimana giatnya umat Islam menjalankan ibadah sholat, bila waktu telah tiba, baik di waktu siang maupun malam. Karena sholat harus didirikan pada waktunya, begitu kata firman Allah Swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Juga disiplin dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi antara Imam dan Makmum. Kewajiban makmum adalah mengikuti program dan kebijakan seorang Imam. Maka jika Imam berdiri, makmum juga harus berdiri. Imam sujud, makmum juga harus sujud. Begitu juga jika Imam duduk, makmum juga harus duduk dan seterusnya. Belajar dari sholat inilah seorang pemimpin dan yang dipimpin harus disiplin waktu dalam menjalankan tugas sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kedisiplinan saja tidak cukup, maka harus dibarengi dengan yang ke 2) Tanggung jawab (Al-Wakiil) dalam menjalankan tugas. Orang yang sholat sangat bertanggung jawab, karena kelak sholatnya itu akan dimintai pertanggungjawaban pada hari akhir nanti. Sesuai dengan hadits Rasulullah Saw., bahwa amal yang paling pertama ditanya pada hari kiamat adalah sholat, bila sholatnya baik maka baiklah amalan yang lain. Bila sholatnya jelek maka jeleklah amalan yang lain. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyat, dengan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ini terlihat dalam sholat, ketika Imam harus bertanggungjawab kepada para jama’ahnya sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. 3) Menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran (Al-Mu’min). Di dalam sholat diajarkan agar setiap orang Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, hal ini bisa dirasakan ketika seseorang melaksanakan sholat, ia tidak berani sedikitpun untuk mengurangi atau menambahi raka’at sholat. Inilah perwujudan dari nilai-nilai kejujuran. Kejujuran seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan rakyat. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini disebabkan karena hilangnya nilai-nilai kejujuran di kalangan para pemimpin. 4) Bekerjasama (al jami’). Ibarat mendirikan sebuah bangunan, diperlukan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak agar bangunan itu bisa selesai dengan sempurna. Begitu pula dengan mendirikan sholat berjama’ah, diperlukan juga kerja sama antara Muadzin, Imam dan Ma’mum. Seorang pemimpin tidak ada apa-apanya tanpa adanya kerjasama dengan bawahannya. 5) Menegakkan keadilan (al’adlu). Bagi jama’ah shalat yang datang lebih dulu maka barisannya menempati jajaran paling depan. Sedangkan bagi jama’ah yang datangnya terlambat harus menempati jajaran paling belakang. Ketika Imam sujud, semua jama’ah (ma’mum) wajib sujud apapun status sosialnya di masyarakat. Demikian juga ketika Imam berdiri, ruku, atau gerakan shalat lainnya, dalam keadaan apapun, ma’mum wajib mengikuti Imam. Termasuk keadilan dalam sholat lainnya adalah adanya dispensasi (rukhsah). Seperti ketika seorang mau melakukan perjalanan jauh, maka ia boleh melaksanakannya dengan dijama’ (digabungkan 2 sholat: Zhuhur dengan Asar dan Magrib dengan Isya’) atau bisa juga dengan menggunakan qhasar (meringkas empat raka’at menjadi rua raka’at). Seorang pemimpin tidak boleh tebang pilih dalam mengambil kebijakan. Walaupun ketika Pemilihan ada beberapa wilayah yang tidak memilihnya, maka ketika menjadi seorang Pemimpin tidak boleh memarjinalkan wilayah tersebut. Jadi harus bersikap adil dan tidak ada diskriminatif. 6) Mempunyai visi ke depan (al-akhir). Visi di dalam sholat adalah Assalam (kesejahteraan dan kedamaian). Seorang Pemimpin harus punya visi yang mampu menyejahterakan rakyat dan menjadikan daerahnya aman dan damai sehingga masyarakat kondusif. 7) Mempunyai kepedulian yang tinggi (Assami’ dan al bashiir). Imam harus melihat dan mendengar keadaan jamaahnya. Lafadz “Amiin” diucapkan ma’mum adalah symbol suara rakyat yang harus selalu didengar. Sedangkan lafadz “salam” dengan menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri adalah symbol seorang Pemimpin harus bisa melihat keadaan rakyatnya (peduli). Setelah melihat dan mendengar lalu bagaimana solusinya memecahkan problematika sosial ini. 8) Demokrasi harus dipelihara. Ketika Imam itu salah atau lupa dalam gerakan sholat, lalu ma’mum mengingatkannya dengan bacaan “Subhanallah” maka Imam harus memperhatikan aspirasi ma’mum. Begitu pula ketika Imam itu lalai dalam salah satu bacaan shalat dan makmum mengingatkannya, maka Imam harus introspeksi diri dengan cara sujud sahwi. Seorang Pemimpin tidak boleh menutup mata dan telinga, harus bisa menerima apabila dikritik atau diingatkan oleh rakyatnya. Jangan lupa Pemimpin juga manusia: bisa benar, bisa juga salah. Tajug adalah simbol kesinergian antara hamba dengan Tuhannya dengan istilah al-Qur’annya hablum minallah. Karena walaupun bagaimanapun hidup di dunia ini tanpa Allah tidak ada apa-apanya.
Kedua, ingsun titip fakir miskin. Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia (hablum minannas). Prioritas utama kepemimpinan sekarang adalah mengentaskan kemiskinan dengan cara memperbanyak lapangan pekerjaan: bangkitkan kembali industri rotan, batik, pertanian agar tidak banyak yang menganggur. Prioritas kedua adalah menstabilkan ekonomi kerakyatan: turunkan harga minyak dan sembilan bahan pokok makanan. Prioritas ketiga adalah pendidikan dan kesehatan gratis untuk wong cilik. Apabila wasiat Kanjeng Sinuhun ini benar-benar dilaksanakan oleh pemimpin sekarang, Insya Allah kabupaten Cirebon menjadi Kabupaten yang Baldatun Thayibatun wa rabbun ghofuur (Daerah yang subur, makmur, aman, sejahtera, dan dalam ampunan Allah). Sebaliknya bila pesan tersebut diabaikan oleh pemimpin sekarang, maka bersiap-siaplah terkena musibah dan kehinaan. Seperti diungkapkan dalam Al Qur’an : “Mereka ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dengan manusia” (Q.S Ali Imron : 112). Semoga

BENARKAH HAJI MARDUD PANGGILAN TUHAN?

Oleh : Mursana, M.Ag.
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon,Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

”Panggilan haji telah tiba lagi, menunaikan ibadah panggilan baitullah, tanah suci Makkah ia Makkatul mukarramah”. Penggalan syair ini sempat dipopulerkan oleh Group Qasidah Modern Nasyida Ria asal Kota Semarang pada tahun 80-an. Pada bulan ini, bait-bait syair di atas terasa terngiang-ngiang kembali di telinga dan sangat menggetarkan setiap kalbu orang yang beriman, di mana umat muslim yang mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah Haji Tahun ini, semarak mengadakan walimatus safar.
Menurut rencana kelompok terbang (kloter) pertama jama’ah haji asal Propinsi Jawa Barat diberangkatkan pada tanggal 22 Oktober 2009. Berbagai persiapan telah dilakukan baik oleh pihak panitia penyelenggara maupun oleh peserta jama’ah haji. Maklum saja karena ibadah yang satu ini merupakan ibadah yang sangat istimewa dalam ajaran Islam. Sebab yang melakukannya bukan hanya dituntut kemampuan dalam bidang jasmani tetapi juga rohaninya harus kuat.
Menurut Sayid Sabiq (1983) Ibadah Haji ialah menyengaja pergi ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arafah, dan seluruh rangkaian manasik karena memenuhi perintah dan mencari ridho Allah. Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke enam setelah hijrah, demikian menurut Jumhur Ulama. Haji merupakan satu-satunya ibadah ritual yang mempunyai perbedaan khusus dibanding dengan ibadah ritual lainnya, seperti Shalat, Zakat dan Puasa. Karena ibadah haji merupakan ibadah ritual yang mempunyai dua dimensi yaitu ibadah material (maaliyah) dan non material (badaniyah). Oleh karena itu dalam menunaikan ibadah haji ini dibutuhkan adanya kesiapan secara meteri dan non materi. Imam Sayid Sabiq (1983) mensyaratkan “Sanggup” (isthitha’ah) dengan: 1) Sehat badan, 2) Aman dalam perjalanan bagi dirinya dan hartanya, 3) Mempunyai bekal yang cukup. Sedangkan menurut ulama lain, kata ini ditafsirkan mampu secara perbekalan, transportasi, akomodasi, juga mampu mencukupi nafkah keluarga yang ditinggal selama menunaikan Ibadah Haji.
Haji Mabrur Panggilan Tuhan
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat berat. Betapa beratnya Ibadah ini, sehingga Rasulullah Saw. menggolongkan ibadah ini mempunyai nilai jihad. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah sewaktu dia mengadu kepada Nabi Saw., “apakah ada jihad bagi kaum perempuan?” Beliau menjawab: “Ya ada jihad tapi bukan perang”. “Lalu apa?”. “Haji dan Umrah” jawab Beliau. Di dalam riwayat lain Nabi Saw. bersabda: “Jihad yang paling utama ialah haji yang mabrur” (lihat Asshon’any dalam Subulussalam, II:178). Dalam hadits lain diceritakan bahwa “tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali sorga”. HR. Bukhori dan Muslim. Imam Nawawi berpendapat bahwa haji mabrur ialah haji yang tidak dicampuri dengan dosa-dosa. Menurut Asshon’any, haji mabrur ialah haji yang menjadikan pelakunya melahirkan dan meningkatkan kebaikan dan kebajikan yang berkesinambungan setelah menunaikan ibadah haji. Namun tidak sedikit orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji, bahkan ia berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi ternyata ibadah tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi dirinya. Artinya ibadah yang ia lakukan tidak membawa perubahan/dampak positif sedikitpun, bahkan ia semakin gila prilakunya. Na’udzu billah min dzalik. Mugkinkah ada yang salah, baik dalam niat maupun dari cara-cara yang ia tempuh dalam rangka menunaikan ibadah akbar ini.
Setiap kali Allah mengundang umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, pasti ada tujuan tertentu. Adapun tujuan Allah Swt. mengundang umat Islam tersebut adalah Allah sebagai Tuhan pemelihara alam semesta mempunyai keinginan ( iradat ) untuk membina umatNya agar bisa menjadi khalifah di muka bumi ini dengan baik sesuai dengan kehendakNya. Sebagai khalifah ( wakil Allah ), manusia diberi keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Keistimewaan itu bernama akal budi. Tentu saja anugerah ini tidak mungkin bisa berjalan dan berfungsi secara maksimal tanpa dibimbing dan dibina. Pelaksanaan ibadah Haji merupakan wahana pembinaan, pendidikan, dan pelatihan bagi umat Islam, di mana Allah swt. sebagai Rabb, membina dan membimbing secara langsung kepada para hujaj dengan harapan hasil dari pembinaan itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali ke Tanah air. Aplikasi dari hasil didikan Allah itu bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk lingkungan masyarakat sekitar.
Haji Mardud Panggilan Hantu?
Ibarat sebuah majelis ta’lim Pak haji dan Bu haji Mabrur adalah peserta didik yang mendapat panggilan/undangan khusus dari Tuhan (alQudus) Yang Maha Suci untuk mengikuti pendidikan dan pembinaan, sehingga mereka bisa mengikutinya dengan serius dan khusyu’. Maka pantas ilmu yang diperolehnya dari diklat itu utuh dan barokah serta bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangakan Pak haji dan Bu haji Mardud adalah peserta didik yang tidak diundang alias tamu yang tidak diundang dalam diklat tersebut, karena memang mereka tidak pantas untuk diundang. Bagaimana mungkin Tuhan (alQudus) Yang Maha Suci mengundang orang yang tidak suci niatnya, hartanya, dan perbuatannya? Ketika alQudus mendidik dan membina peserta yang diundang secara serius, maka mereka yang tidak diundang ikut aktif juga dalam diklat itu, tetapi mereka tidak serius mengikutinya atau main-main. Pada waktu alQudus menyuruh ihram, wukuf, thowaf, sa’i, tahallul, dan jamarat, mereka yang tidak diundang juga mengikuti rangkaian kegiatan manasik tersebut, tetapi main-main. Maka pantas ketika mereka pulang dari diklat atau kembali ke Tanah air, hasil dari diklat itu tidak membawa perubahan sama sekali bagi dirinya apalagi untuk orang lain. Artinya adalah mereka sebelum dan sesudah haji sama saja, begitu-begitu aja. Maka Penulis berkesimpulan bahwa tidak semua orang yang menunaikan ibadah haji itu merupakan panggilan Tuhan, bisa jadi panggilan Hantu atau lainnya. Haji mardud adalah salah satu contoh haji panggilan hantu. Karena dari persyaratan dan niat untuk berhaji tidak sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, misalnya hartanya tidak halal atau niatnya tidak ikhhlas. Dan setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk menunaikan ibadah haji merupakan orang-orang pilihanNya yang sudah memenuhi syarat dan rukun, baik jasmani (materi) maupun ruhaninya (mental).
Demikian beberapa renungan ini sengaja Penulis paparkan semoga menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang bermaksud menunaikan ibadah haji, agar haji yang dilaksanakan tidak sia-sia. Amiin. LIHAT LAMPIRAN FOTO DI BAWAH INI........

KESAN NEGATIF BULAN KAPIT

Oleh : Mursana,M.Ag*


Bulan kapit merupakan bulan spesial yang tidak pernah digunakan untuk melakukan acara syukuran hajatan oleh sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Cirebon khususnya. Anggota masyarakat yang akan melaksanakan syukuran pernikahan (walimatul ’arusy), atau syukuran sunatan (walimatul khitan), semacam ada pantangan untuk tidak menggunakan bulan kapit sebagai bulan hajatannya. Sehingga mereka lebih memilih bulan lainnya daripada bulan kapit. Alasannya sangat sederhana dan beragam. Ada yang mempunyai keyakinan bahwa bulan kapit adalah bulan sial seperti kata Subhan (Sesepuh Kecamatan Gegesik), oleh karena itu harus dihindari. Ada juga yang berkeyakinan bahwa bulan kapit adalah bulan kejepit (rawan kecelakaan dan sempit rejeki) seperti menurut Muhaimin (Tokoh Agama Kecamatan Kelangenan), dan yang lebih ngeri lagi bahwa bulan kapit adalah bulan bala’ (penuh musibah) demikian menurut Hasani (Tokoh Agama Kecamatan Gempol), dan lain sebagainya. Tradisi seperti ini telah diyakini oleh sebagian masyarakat Cirebon dan sekitarnya yang sudah berjalan selama berabad-abad lamanya. Padahal tidak diketahui siapa penggagasnya, kapan dan di mana asal-usul sejarahnya. Jelasnya tradisi ini masih eksis sampai sekarang.
Menurut tradisi orang Jawa, tanggal dan bulan setiap tahun mempunyai makna sangat penting. Karenanya dengan melihat tanggal dan bulan masyarakat Jawa akan segera mengetahui saat-saat yang baik untuk merencanakan dan melakukan segala sesuatu. Dengan mengetahui hal tersebut, maka dalam melaksanakan suatu pekerjaan diharapkan akan menemui keselamatan dan kesejahteraan..
Indonesia adalah negeri yang kaya akan suku, budaya, agama, dan kepercayaan.. Sebelum Islam datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat pada abad ke 13, agama dan kepercayaan lain sudah bermunculan di negeri ini. Sebut saja misalnya: animisme, dinamisme, hindu, budha, konghucu dan kristen. Belum lagi kepercayaan dan aliran kebatinan yang merupakan paham sempalan dari agama tertentu yang akhir-akhir ini tumbuh berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Oleh karena itu tidak dipungkiri lagi bahwa segala budaya dan tradisi yang berlaku saat ini berasal dari orang tua zaman dulu/nenek moyang penganut agama dan kepercayaan tertentu yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Perspektif Islam
Secara bahasa kapit berasal dari kata hafidz yang dalam bahasa arab berarti menjaga atau memelihara. Yang dimaksud di sini adalah menjaga atau memelihara kesucian bulan ini dari peperangan atau larangan lainnya. Karena di dalam alQur’an Kapit /dzulqa’dah termasuk as Syahrul Haram, bulan suci dan mulya, selain dari rajab, dzulhijah, dan muharram (Qs.alMaidah:2). Namun orang Jawa biasa menyebut kata hafidz dengan sebutan kapit, demikian menurut Ustadz Masykur, seorang Tokoh Masyarakat dari Kecamatan Astanajapura.
Dalam ajaran Islam tidak mengenal hari, minggu, bulan, atau tahun pembawa sial, akan tetapi sebaliknya. Semua waktu adalah baik apabila dipergunakan untuk melakukan amal saleh. Sebagaimana Allah berfirman dalam alQur’an: ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta'ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”(Qs.al’Ashr:1-3)
Tiga ayat alQur’an di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. bersumpah atas nama waktu. Betapa ruginya orang - orang yang tidak bisa menggunakan waktu dengan baik. Artinya adalah seseorang akan terkena sial bila ada waktu atau kesempatan yang baik untuk beramal saleh, tetapi ia tidak bisa mempergunakan kesempatan itu dengan baik. Akibat dari perbuatannya itu, ia akan merugi.
Menurut ’Afif Abdul Fattah (1996) bahwa Allah telah bersumpah dengan memakai nama masa (waktu) karena ia sangat penting kedudukannya bagi kehidupan manusia. Di dalam waktu terkandung kehidupan yang saling berganti. Di dalamnya juga terdapat kemudahan dan kesengsaraan, kekayaan dan kemiskinan, serta bahagia dan celaka, semuanya datang dan pergi silih berganti. Karena mengingat kebanyakan manusia selalu mengaitkan musibah dengan waktu serta mereka mengeluh dan merasa sakit karena waktu, maka Allah bermaksud menjelaskan kepada mereka melalui sumpah dalam ayat di atas, bahwa suatu kerugian dalam pekerjaan manusia bukanlah karena waktu tertentu, dan manusia itu akan selalu dalam kerugian selagi dia tidak mau menegakkan dan menyandang empat perkara, yaitu: iman kepada Allah Swt., mengerjakan amal shalih, saling berpesan untuk mengerjakan perkara yang baik (hak), dan saling berpesan untuk berpegang teguh pada kesabaran.
Pertama, Iman dan amal shalih. Beriman kepada Allah Swt. merupakan kewajiban pertama bagi manusia di muka bumi ini, karena sesungguhnya iman merupakan tanda bahwa manusia telah mendapat petunjuk dan mempunyai pandangan yang benar. Beriman kepada Allah juga mempunyai pengaruh yang baik dalam kehidupan manusia. Iman dapat melenyapkan dan menyingkirkan kegelapan dalam kehidupan ini, dan dapat memasukan perasaan penuh harap di dalam kalbu. Pada saat sedang frustasi, manusia yang mu’min akan selalu ingat bahwa di sana ada pelindung tempat ia mengadu dan meminta perlindungan (Qs.alIkhlas:2). Dia adalah Allah Yang Mahakuasa untuk membantunya. Dan apa yang menimpah dirinya berupa kemadharatan akan mendatangkan pahala baginya, karena itu dia tenang dan menjadi kecillah semua kemadharatan yang dihadapinya, serta semua musibah akan terasa mudah ditanggungnya. Oleh sebab itu, ketika melihat orang mu’min yang ikhlas, selalu berlapang dada, tenang jiwanya, dan tidak pernah merasa khawatir. Dengan demikian orang-orang yang benar beriman tidak pernah mengenal apa yang namanya sial, rejeki sempit, lebih-lebih di bulan kapit. Karena ia yakin dan percaya bahwa Allah sudah mengatur kehidupannya. Itulah yang menjadi ketenangan orang yang beriman.
Kedua, Saling berpesan untuk perkara yang hak. Dalam Qs. al’Ashr di atas, Allah Swt. mengecualikan orang yang merugi itu orang-orang yang saling berpesan demi perkara yang hak. Saling berpesan demi perkara yang hak merupakan kebutuhan pokok masyarakat.. mengerjakan perkara yang hak memang sulit, karena perkara yang hak selalu bertentangan dengan kemauan hawa nafsu, lawan dari kemashlahatan khusus dan lawan angkara murka pada penguasa dan kezaliman orang. Berdasarkan pengertian ini, Islam tidak hanya memerintahkan para pelakunya untuk mengerjakan yang hak saja tetapi juga memerintahkan mereka agar saling berpesan untuk mengerjakannya. Termasuk juga diantaranya uintuk berpesan kepada masyarakat bahwa mengadakan acara hajat penikahan atau khitanan pada bulan kapit itu sama baiknya pada bulan lain.
Ketiga, Saling berpesan untuk bersabar. Mengingat perkara yang hak itu mempunyai beban yang berat atas jiwa manusia, dan bahwa saling berpesan untuk mengerjakannya pasti dibarengi dengan cobaan dan kesulitan-kesulitan, maka hal itu memerlukan kesabaran. Oleh karena itu, Allah Swt. menggandengkan saling berpesan untuk bersabar dengan saling berpesan untuk saling mengerjakan perkara yang hak. Dalam Kitab Daqaiqul Akhbar, paling tidak sabar itu ada tiga perkara, yaitu: 1) sabar ketika menunaikan ketaatan yang diwajibkan dan diperintahkan oleh Islam, 2) sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat yang dilarang oleh Islam, dan 3) sabar ketika musibah menimpah dan menanggung deritanya.
Kesabaran yang paling tinggi derajatnya ialah tatkala musibah datang untuk pertama kalinya. Bila seseorang pada saat itu bersikap sabar, maka hal itu menunjukkan ketabahan dan kerteguhan jiwanya serta kekuatan akidahnya. Oleh karena itu nabi Saw. bersabda, ”sesungguhnya sabar itu hanyalah ketika pertama kali musibah datang ” HR.Bukhari. Sikap sabar merupakan dasar utama bagi kebanyakan sikap yang utama. Tidak ada suatu keutamaanpun yang tidak memerlukan sikap sabar. Termasuk diantaranya apabila ketika menyelenggarakan acara hajat walimah di bulan kapit, kebetulan terjadi sesuatu yang ganjil, maka bersabarlah. Yakinkan bahwa jodoh, pati, rejeki, bala’, seneng, sengsara, itu garisan takdir yang pasti dilewati setiap insan.
Mudah-mudahan dengan memahami Qs. al’Ashr, tidak ada lagi yang berkeyakinan dengan menunjukkan bulan tertentu atau waktu tertentu yang diklaim sebagai waktu pembawa sial, bencana, atau pembawa kemadharatan lainnya. Hanya kepada Allah-lah tempat kita kembali. Semoga.

* Mursana, M.Ag. : Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis
















Oleh : Mursana,M.Ag*


Bulan kapit merupakan bulan spesial yang tidak pernah digunakan untuk melakukan acara syukuran hajatan oleh sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Cirebon khususnya. Anggota masyarakat yang akan melaksanakan syukuran pernikahan (walimatul ’arusy), atau syukuran sunatan (walimatul khitan), semacam ada pantangan untuk tidak menggunakan bulan kapit sebagai bulan hajatannya. Sehingga mereka lebih memilih bulan lainnya daripada bulan kapit. Alasannya sangat sederhana dan beragam. Ada yang mempunyai keyakinan bahwa bulan kapit adalah bulan sial seperti kata Subhan (Sesepuh Kecamatan Gegesik), oleh karena itu harus dihindari. Ada juga yang berkeyakinan bahwa bulan kapit adalah bulan kejepit (rawan kecelakaan dan sempit rejeki) seperti menurut Muhaimin (Tokoh Agama Kecamatan Kelangenan), dan yang lebih ngeri lagi bahwa bulan kapit adalah bulan bala’ (penuh musibah) demikian menurut Hasani (Tokoh Agama Kecamatan Gempol), dan lain sebagainya. Tradisi seperti ini telah diyakini oleh sebagian masyarakat Cirebon dan sekitarnya yang sudah berjalan selama berabad-abad lamanya. Padahal tidak diketahui siapa penggagasnya, kapan dan di mana asal-usul sejarahnya. Jelasnya tradisi ini masih eksis sampai sekarang.
Menurut tradisi orang Jawa, tanggal dan bulan setiap tahun mempunyai makna sangat penting. Karenanya dengan melihat tanggal dan bulan masyarakat Jawa akan segera mengetahui saat-saat yang baik untuk merencanakan dan melakukan segala sesuatu. Dengan mengetahui hal tersebut, maka dalam melaksanakan suatu pekerjaan diharapkan akan menemui keselamatan dan kesejahteraan..
Indonesia adalah negeri yang kaya akan suku, budaya, agama, dan kepercayaan.. Sebelum Islam datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat pada abad ke 13, agama dan kepercayaan lain sudah bermunculan di negeri ini. Sebut saja misalnya: animisme, dinamisme, hindu, budha, konghucu dan kristen. Belum lagi kepercayaan dan aliran kebatinan yang merupakan paham sempalan dari agama tertentu yang akhir-akhir ini tumbuh berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Oleh karena itu tidak dipungkiri lagi bahwa segala budaya dan tradisi yang berlaku saat ini berasal dari orang tua zaman dulu/nenek moyang penganut agama dan kepercayaan tertentu yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Perspektif Islam
Secara bahasa kapit berasal dari kata hafidz yang dalam bahasa arab berarti menjaga atau memelihara. Yang dimaksud di sini adalah menjaga atau memelihara kesucian bulan ini dari peperangan atau larangan lainnya. Karena di dalam alQur’an Kapit /dzulqa’dah termasuk as Syahrul Haram, bulan suci dan mulya, selain dari rajab, dzulhijah, dan muharram (Qs.alMaidah:2). Namun orang Jawa biasa menyebut kata hafidz dengan sebutan kapit, demikian menurut Ustadz Masykur, seorang Tokoh Masyarakat dari Kecamatan Astanajapura.
Dalam ajaran Islam tidak mengenal hari, minggu, bulan, atau tahun pembawa sial, akan tetapi sebaliknya. Semua waktu adalah baik apabila dipergunakan untuk melakukan amal saleh. Sebagaimana Allah berfirman dalam alQur’an: ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta'ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”(Qs.al’Ashr:1-3)
Tiga ayat alQur’an di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. bersumpah atas nama waktu. Betapa ruginya orang - orang yang tidak bisa menggunakan waktu dengan baik. Artinya adalah seseorang akan terkena sial bila ada waktu atau kesempatan yang baik untuk beramal saleh, tetapi ia tidak bisa mempergunakan kesempatan itu dengan baik. Akibat dari perbuatannya itu, ia akan merugi.
Menurut ’Afif Abdul Fattah (1996) bahwa Allah telah bersumpah dengan memakai nama masa (waktu) karena ia sangat penting kedudukannya bagi kehidupan manusia. Di dalam waktu terkandung kehidupan yang saling berganti. Di dalamnya juga terdapat kemudahan dan kesengsaraan, kekayaan dan kemiskinan, serta bahagia dan celaka, semuanya datang dan pergi silih berganti. Karena mengingat kebanyakan manusia selalu mengaitkan musibah dengan waktu serta mereka mengeluh dan merasa sakit karena waktu, maka Allah bermaksud menjelaskan kepada mereka melalui sumpah dalam ayat di atas, bahwa suatu kerugian dalam pekerjaan manusia bukanlah karena waktu tertentu, dan manusia itu akan selalu dalam kerugian selagi dia tidak mau menegakkan dan menyandang empat perkara, yaitu: iman kepada Allah Swt., mengerjakan amal shalih, saling berpesan untuk mengerjakan perkara yang baik (hak), dan saling berpesan untuk berpegang teguh pada kesabaran.
Pertama, Iman dan amal shalih. Beriman kepada Allah Swt. merupakan kewajiban pertama bagi manusia di muka bumi ini, karena sesungguhnya iman merupakan tanda bahwa manusia telah mendapat petunjuk dan mempunyai pandangan yang benar. Beriman kepada Allah juga mempunyai pengaruh yang baik dalam kehidupan manusia. Iman dapat melenyapkan dan menyingkirkan kegelapan dalam kehidupan ini, dan dapat memasukan perasaan penuh harap di dalam kalbu. Pada saat sedang frustasi, manusia yang mu’min akan selalu ingat bahwa di sana ada pelindung tempat ia mengadu dan meminta perlindungan (Qs.alIkhlas:2). Dia adalah Allah Yang Mahakuasa untuk membantunya. Dan apa yang menimpah dirinya berupa kemadharatan akan mendatangkan pahala baginya, karena itu dia tenang dan menjadi kecillah semua kemadharatan yang dihadapinya, serta semua musibah akan terasa mudah ditanggungnya. Oleh sebab itu, ketika melihat orang mu’min yang ikhlas, selalu berlapang dada, tenang jiwanya, dan tidak pernah merasa khawatir. Dengan demikian orang-orang yang benar beriman tidak pernah mengenal apa yang namanya sial, rejeki sempit, lebih-lebih di bulan kapit. Karena ia yakin dan percaya bahwa Allah sudah mengatur kehidupannya. Itulah yang menjadi ketenangan orang yang beriman.
Kedua, Saling berpesan untuk perkara yang hak. Dalam Qs. al’Ashr di atas, Allah Swt. mengecualikan orang yang merugi itu orang-orang yang saling berpesan demi perkara yang hak. Saling berpesan demi perkara yang hak merupakan kebutuhan pokok masyarakat.. mengerjakan perkara yang hak memang sulit, karena perkara yang hak selalu bertentangan dengan kemauan hawa nafsu, lawan dari kemashlahatan khusus dan lawan angkara murka pada penguasa dan kezaliman orang. Berdasarkan pengertian ini, Islam tidak hanya memerintahkan para pelakunya untuk mengerjakan yang hak saja tetapi juga memerintahkan mereka agar saling berpesan untuk mengerjakannya. Termasuk juga diantaranya uintuk berpesan kepada masyarakat bahwa mengadakan acara hajat penikahan atau khitanan pada bulan kapit itu sama baiknya pada bulan lain.
Ketiga, Saling berpesan untuk bersabar. Mengingat perkara yang hak itu mempunyai beban yang berat atas jiwa manusia, dan bahwa saling berpesan untuk mengerjakannya pasti dibarengi dengan cobaan dan kesulitan-kesulitan, maka hal itu memerlukan kesabaran. Oleh karena itu, Allah Swt. menggandengkan saling berpesan untuk bersabar dengan saling berpesan untuk saling mengerjakan perkara yang hak. Dalam Kitab Daqaiqul Akhbar, paling tidak sabar itu ada tiga perkara, yaitu: 1) sabar ketika menunaikan ketaatan yang diwajibkan dan diperintahkan oleh Islam, 2) sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat yang dilarang oleh Islam, dan 3) sabar ketika musibah menimpah dan menanggung deritanya.
Kesabaran yang paling tinggi derajatnya ialah tatkala musibah datang untuk pertama kalinya. Bila seseorang pada saat itu bersikap sabar, maka hal itu menunjukkan ketabahan dan kerteguhan jiwanya serta kekuatan akidahnya. Oleh karena itu nabi Saw. bersabda, ”sesungguhnya sabar itu hanyalah ketika pertama kali musibah datang ” HR.Bukhari. Sikap sabar merupakan dasar utama bagi kebanyakan sikap yang utama. Tidak ada suatu keutamaanpun yang tidak memerlukan sikap sabar. Termasuk diantaranya apabila ketika menyelenggarakan acara hajat walimah di bulan kapit, kebetulan terjadi sesuatu yang ganjil, maka bersabarlah. Yakinkan bahwa jodoh, pati, rejeki, bala’, seneng, sengsara, itu garisan takdir yang pasti dilewati setiap insan.
Mudah-mudahan dengan memahami Qs. al’Ashr, tidak ada lagi yang berkeyakinan dengan menunjukkan bulan tertentu atau waktu tertentu yang diklaim sebagai waktu pembawa sial, bencana, atau pembawa kemadharatan lainnya. Hanya kepada Allah-lah tempat kita kembali. Semoga.

* Mursana, M.Ag. : Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis

MEMBEDAH KANTIN KEJUJURAN DI SEKOLAH

Oleh: Mursana, M.Ag


Sesuai dengan UU. No.20 Tahun 2003 bahwa Fungsi Pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan Tujuan Pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sebagai salah satu usaha untuk mencapai fungsi dan tujuan tersebut, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) mencanangkan pendirian Kantin Kejujuran di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di seluruh Indonesia. Kantin Kejujuran di Sekolah yang digagas oleh DR. Dody Susanto, M.Si ( Ketua umum Karang Taruna Nasional ) ini dimaksudkan pendidikan anti korupsi sejak di bangku sekolah. Dengan adanya Kantin Kejujuran di Sekolah diharapkan bisa membentuk karakter siswa setiap siswa sadar akan bahaya korupsi bagi bangsa. Sebab, karena korupsilah negara yang dikenal oleh dunia sebagai negara yang subur makmur, kaya akan sumber alam; hutan, laut, gunung, minyak, gas, dan tambang menjadi negara termiskin. Dan karena korupsi pula rakyat menjadi sengsara.
Kalau dihayati dengan seksama ternyata korupsi berawal dari ketidakjujuran seorang pemimpin. Belakangan ini nilai sebuah kejujuran memang seakan-akan menjadi barang langka, sehingga saat ini sangat susah mencari kejujuran di Bumi Pertiwi yang mayoritas penduduknya muslim ini. Padahal di Republik Indonesia tercinta ini sangat membutuhkan para pemimpin yang jujur. Yakni pemimpin yang dipercaya oleh rakyatnya,. Karena salah satu krisis bangsa ini disebabkan para pemimpinnya tidak jujur. Lihat saja penyelewengan-penyelewengan terjadi di semua lini kehidupan. Dari mulai penyelewengan APBN, APBD yang dilakukan oleh pejabat Eksekutif dan Legislatif yang jumlahnya triliunan rupiah setiap tahunnya, belum lagi aksi para koruptor yang semakin gila. Bahkan di perusahaan-perusahaan baik milik negara maupun swasta tidak ketinggalan ikut andil dalam penyimpangan tersebut. Inilah dampak dari kekhianatan para pemimpin tersebut. Kemiskinan semakin merajalela, sementara lapangan kerja semakin langka, yang akibatnya pengangguran semakin menganga, aksi kejahatan dimana-mana. Maka pertanyaan yang sering muncul setelah melihat kondisi seperti di atas adalah, apakah negeri ini masih bisa bangkit dari keterpurukan? Jawabannnya ialah harus bisa bangkit. Bagaimanakah caranya? Caranya adalah hendaklah semua komponen bangsa ini sadar tentang hakekat dirinya, dan harus kembali kepada hati nuraninya. Hati nurani inilah yang bernama amanah dan kejujuran. Mudah-mudahan keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah paling tidak bisa mengurangi rengking atau predikat Negara terkorup di Asia. Sebagaimana dimaklumi bersama, berdasarkan hasil survey nasional bahwa pada tahun 2008 lalu, Indonesia menjadi negara terkorup di Asia.

Efektif atau Penghamburan ?
Sejak disosialisasikan dua tahun silam, sudah lebih dari 1000 Kantin Kejujuran di Sekolah secara nasional di berbagai propinsi yang sudah diresmikan keberadaannya oleh Kepala Daerah dan Kepala Kejaksaan. Hal ini tentu saja perkembangan yang sangat menggembirakan bagi bangsa Indonesia. karena apabila kantin ini benar-benar efektif dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, optimis negeri ini akan bebas korupsi pada masa sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan. Pasalnya anak-anak yang sekarang sedang duduk di bangku SMA, pada duapuluh tahun ke depan akan memimpin bangsa ini, menggantikan generasi tua yang korup.
Keberhasilan Kantin Kejujuran di Sekolah harus didukung oleh berbagai pihak. Disamping dukungan dari Kepala Daerah dan Kepala Kejaksaan juga harus mendapat dukungan penuh dari unsur pendidikan, yakni Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, orang tua siswa, dan lingkungan masyarakat. Dukungan tersebut yang paling penting adalah dukungan moral dengan aksi, tegakkan kejujuran dan hancurkan korupsi. Tidak akan ada artinya sebuah Kantin Kejujuran di Sekolah apabila nilai-nilai kejujuran tersebut dikotori oleh oknum Kepala Dinas Pendidikan atau Kepala sekolah itu sendiri. Misalnya bagaimana mungkin para siswa akan menjadi orang jujur kalau Kepala Dinas Pendidikan atau Kepala Sekolahnya nilep duit bos, gemar membuat laporan dan setempel palsu. Hal ini mungkin saja bisa selamat dari pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapai ingat jangan lupa ada Badan Pemeriksa yang yang maha adil dan tidak mungkin bisa disuap yakni di Akhirat. Alaisallahu bi ahkamil haakimiin, Bukankah Allah hakim seadil-adilnya? Bila hal ini terus terjadi, maka keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah tidak akan bisa efektif. Bahkan sebaliknya, menghamburkan uang saja.
Mari perhatikan ungkapan beberapa Kepala Daerah ketika meresmikan beberapa Kantin Kejujuran di Sekolah yang ada di daerahnya. Ungkapan ini merupakan gerakan moral yang harus diikiti oleh bawahannya. Di SMAN 1 Sumber, Bupati Cirebon Drs. H. Dedi Supardi, MM.didampingi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Sumber, Ketua Karang Taruna Nasional ( penggagas Kantin Kejujuran di Sekolah ), DR. Dody Susanto, M.Si., dan Ir. Budi setiawan Ketua Karang Taruna Jawa barat meresmikan Kantin Kejujuran di Sekolah pavorit warga Cirebon tersebut pada tanggal 29 Oktober 2007 lalu. Dalam sambutannya Bupati mengatakan bahwa keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah ”hendaklah mampu memberikan pelajaran moral bahwa kita tidak boleh mengambil barang orang. Dan semoga keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah bisa dijadikan sebagai filosofi gerakan anti korupsi”. Sementara Bupati Bandung Obar Subarna, ketika meresmikan SMAN 1 Ciparay pada tanggal 15 Januari 2008 mengatakan, keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah diharapkan setiap siswa tidak melakukan praktek darmaji ( dahar lima ngaku siji ) alias tidak jujur dan membuat laporan palsu. Karena dalam Kantin Kejujuran di Sekolah setiap makanan atau barang dagangan sudah ada bandrolnya masing-masing. Bahkan yang lebih istimewa adalah adanya kotak untuk menyimpan uang. Setiap siswa yang membeli makanan atau barang dagangan pada Kantin Kejujuran di Sekolah, ia berhak menyimpan uangnya atau mengambil kembaliannya pada kotak uang tersebut. Pada Kantin ini tidak nampak penjaga kantin. Di sinilah para siswa dilatih untuk berbuat jujur, walaupun tanpa pengawasan seorang penjaga kantin. Lain lagi ceritanya dengan keberadaan Kantin Kejujuran di Sekolah yang ada di Kota Yogyakarta yang satu tahun ini mengalami kerugian, akibat ketidakjujuran dan keisengan para siswanya.
Dari ungkapan Bupati Cirebon dan Bandung di atas, apabila benar-benar didukung dan di amiini oleh semua lapis bawahannya, insya Allah daerah-daerah tersebut akan bebas korupsi pada masa sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan.

Agama ajarkan kejujuran
Setiap muslim diperintahkan untuk berlaku amanah dan memiliki akhlak yang baik serta sifat yang terpuji. Karena barangsiapa yang melakukan sifat-sifat tersebut, niscaya ia diberi balasan yang baik di dunia maupun di akhirat. Dan barangsiapa yang meninggalkan khianat dan menipu karena Allah dengan segenap kejujuran dan keikhlasan, niscaya Allah mengganti hal tersebut dengan kebaikan yang banyak. Seorang sahabat nabi Saw. Abu Hurairah ra. meriwayatkan, Rasulullah Saw. bersabda: ''Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebuah guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya,”'Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!, Orang yang memiliki tanah itu pun menjawab, “Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya”. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata, “Apakah kalian berdua memiliki anak? Salah seorang dari mereka berkata, “Aku memiliki seorang anak laki-laki”. Yang lain berkata, “Aku memiliki seorang puteri”. Orang itu lalu berkata, “Nikahkanlah anak laki-laki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!”.' (HR. Al-Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).
Riwayat hadits di atas memberikan motivasi kepada setiap insan agar dalam hidup ini senantiasa memelihara amanah (kepercayaan) dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, walaupun dirasakan sangat berat. Apabila para pemimpin memiliki kedua sifat tersebut, insya Allah akan dicintai rakyatnya. Dan mustahil akan dikejar-kejar oleh pihak kepolisian dan KPK sebagai tersangka dalam kasus hukum. Demikianlah gambaran orang yang jujur. Semoga melalui Kantin Kejujuran di Sekolah ini menjadikan Indonesia segera bangkit dari keterpurukan. Amiin
*Mursana, M.Ag. : Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis

MEMELIHARA AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Mursana, M.Ag.


Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah sorga )
Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman ) 2X
( lagu ini dipopulerkan oleh grup musik Koes Plus pada tahun 80-an )

Penggalan bait syair di atas merupakan gambaran negeri yang subur dan makmur. Kehidupan makhluk Tuhan terlihat adanya keseimbangan dan keserasian dengan saling berkaitan satu sama lainnya. Maka menurut Quraish Shihab (1992); bila terjadi gangguan alam yang luar biasa terhadap salah satunya, dipastikan makhluk yang berada dalam lingkungan hidup tersebut, ikut terganggu pula. Seperti disebutkan dalam al Qur’an bahwa Alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat ” (Q.S.82: 7 dan 67: 3). Oleh karena itu jika keseimbangan dan keserasian alam tidak dilestarikan, maka timbullah kehancuran alam ini.
Suasana alam yang ramah dan bersahaja dengan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya telah tergambar dalam goresan syair di atas. Inilah potret negeri kita pada masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah bait-bait syair ini masih relevan apabila dikumandangkan pada saat ini? Kalau tidak, lalu kata-kata apa yang pantas untuk diucapkan dalam menilai kondisi alam dan lingkungan kita saat ini?
Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’uun, nampaknya kalimat inilah yang sangat cocok untuk diucapkan oleh umat Islam di Indonesia, akhir-akhir ini. Karena kelihatannya bangsa Indonesia pada umumnya sedang mendapat teguran/ diperingatkan oleh Allah Swt. dengan datangnya musibah yang silih berganti. Mulai dari musibah Tsunami di penghujung tahun 2004 yang memakan korban ratusan ribu jiwa masyarakat Aceh meninggal dunia, disusul lagi tsunami di Nias Sumatra Utara, sampai dengan gempa di Yogyakarta, Jawa Tengah, Pengandaran, dan yang terakhir di Bengkulu terjadi gempa berkekuatan 7,9 skala Richer disusul serangkaian gempa susulan sejumlah daerah di Indonesia dan sempat dinyatakan berpotensi tsunami, Rabu (12/9/2007), sekitar pukul 18.10 WIB. Gempa Bengkulu berkekuatan 7,9 skala Richter membuat kerusakan berat di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, dan yang terakhir pada awal-awal tahun ini bencana Situ Gintung Tanggerang. Kalimat Thoyibah tersebut diucapkan sebagai bentuk kesadaran makhluk kepada Sang Kholik, bahwa semua makhluk di dunia ini adalah milik Allah dan suatu saat akan kembali kepada Allah Swt. Dengan demikian apabila bacaan tersebut diucapkan ketika terjadi musibah, maka berarti kita sedang diingatkan agar segera kembali kepada Allah, karena mungkin selama ini, kita sebagai makhluk telah jauh menyimpang dari rambu-rambu yang telah digariskan Allah Swt.
Ada apa dengan Bencana?
Setiap kali muncul / terjadi suatu bencana, sering orang bertanya-tanya, ada apa dengan bencana? Setiap orang beragam dalam menjawab pertanyaan seperti ini. Ada yang menjawab, terjadi karena pergeseran lempengan-lempengan yang ada di dasar laut, sehingga berpotensi menimbulkan gempa tektonik dan tsunami. Ada lagi yang menjawab, mungkin karena alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Bahkan ada yang lebih radikal lagi jawabannya, karena alam sudah terlalu sering disakiti, dirusak, dizholimi (dieksploitasi) oleh manusia, maka alam itu marah yang membabi buta. Dan kalau alam itu sudah marah dan murka maka dampaknya adalah kepada manusia itu sendiri.
Semua jawaban di atas apabila disimpulkan, karena umat manusia sudah tidak lagi memelihara dan menjaga akhlak yang baik terhadap alam dan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya.
Sudah bosan rasanya telinga kita mendengar berita-berita yang menggambarkan tentang prilaku manusia yang berbuat tidak adil terhadap alam dan lingkungan. Padahal dampak dari perbuatannya itu akan kembali lagi kepada manusia itu sendiri. Sebut saja misalnya penebangan liar (penggundulan) hutan tanpa memperhatikan undang-undang yang berlaku, mengakibatkan banjir bandang dan longsor. Membakar hutan secara ilegal, untuk kepentingan oknum para pengusaha Kelapa Sawit, mengakibatkan asap tebal dimana-mana bahkan sampai ke negara tetangga. Dan pengeboran minyak tanpa memperhatikan peraturan yang berlaku, berdampak luapan lumpur yang tidak terkendali seperti di Sidoarjo dan lain-lain. Kenapa manusia tega berbuat demikian? Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَ‌ٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ
” Telah dihiasi pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia ” ( Q.S. 3:14).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia diberi potensi hawa nafsu untuk mendapatkan rasa cinta kepada wanita cantik, ingin memiliki harta benda yang banyak seperti emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang ternak dan sawah ladang (Az-Zuhaily:1998) Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan semuanya itu, walaupun dengan berbagai cara, tidak peduli apakah cara yang digunakan itu merusak alam dan lingkungan atau tidak yang penting bagi dirinya bahwa tujuan itu tercapai. Maka dari sinilah awal mula proses terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan bencana yang sangat dasyat di negeri ini.
Islam memandang bahwa segala musibah yang terjadi di alam ini akibat perbuatan manusia itu sendiri. Seperti dalam firman Allah Swt.:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. 30: 41)
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa musibah yang terjadi baik di daratan maupun di lautan akibat ulah manusia yang mengumbar hawa nafsunya untuk kepentingan dirinya. Dan musibah sengaja Allah Swt. timpahkan kepada manusia agar manusia kembali ke jalan Tuhannya yakni jalan yang benar.
Saatnya berakhlakulkarimah kepada Lingkungan Hidup
Apabila kita tela’ah kembali ruang lingkup ajaran Islam, paling tidak ada empat hal yang perlu dilakukan oleh setiap muslim, yaitu memelihara akhlak terhadap Allah, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan lingkungan hidup (alam sekitar).
Ketika manusia berakhlak kepada Allah disebut hablum minallah, bentuknya adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah. Ketika manusia berakhlak kepada sesama manusia disebut hablum minannas, bentuknya adalah mu’amalah atau saling tolong menolong dalam kebaikan. Ketika manusia berakhlak dengan dirinya sendiri disebut hablum minannafsi, bentuknya adalah memperhatikan dirinya sendiri agar badannya selalu sehat dan prima, dan bila ia sakit segera berobat. Dengan kata lain tidak membiarkan dirinya sakit atau menderita. Dan ketika manusia berakhlak kepada lingkungan hidup atau alam sekitar disebut hablum minal ’alam, bentuknya adalah memelihara, melestarikan dan mempergunakan lingkungan hidup itu untuk kepentingan manusia.
Pada saat manusia beribadah kepada Allah swt.maka ia bertindak sebagai hamba Allah yang mempunyai tugas untuk mengabdi, sesuai dengan firman Allah dalam al Qur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepadaKu” (QS. 51: 56). Sedangkan pada saat ia berakhlak dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan lingkungan hidup, maka ia bertindak sebagai khalifatullah fil ardh, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al Qur’an:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
” Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata kepada para malaikat, sesungguhnya aku akan menciptakan di muka bumi ini seorang khalifah”. (Q.S. 2: 30)
Coba perhatikan dengan seksama, setiap lingkungan hidup yang ada di sekitar kita semuanya bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari udara, air, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Udara sangat berguna bagi kehidupan manusia yakni untuk bernafas, karena sedetik saja kita tidak bisa menghirup udara untuk bernafas, maka hidup akan berakhir. Air sangat berguna untu minum, tidak sedikit manusia yang mati karena kehausan, bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhanpun akan mati bila tidak ada air. Hewan, terutama hewan ternak yang halal, ada yang berguna untuk dimakan, ada yang bermanfaat untuk dipergunakan tenaganya, seperti kerbau untuk membajak sawah, kuda dan unta untuk kendaraan. Sedangkan tumbuh-tumbuhan berguna untuk dimakan, seperti buah-buahan dan sayuran. Dan ada juga yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar dan lain sebagainya.
Manusia sebagai khalifah fil ardh telah diperintakan Allah Swt.untuk memelihara, melestarikan dan mempergunakan lingkungan hidup untuk kepentingan manusia itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt.dalam al Qur’an :
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
” Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu untuk memakmurkannya” (Q.S.11: 61).
Az Zuhaily (1998) menafsirkan ayat tersebut, bahwa alam ini diciptakan untuk kita dan kita diperintakan untuk melestarikan, memakmurkan dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan diri kita sendiri. Namun harus diingat, bahwa kita harus menjaga keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Janganlah kita membuat kerusakan di muka bumi ini, tidak boleh mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan nafsu serakah. Misalnya menebang pohon seenak udelnya tanpa menanam kembali pohon sebagai pengantinya. Karena itu akan mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri, sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal pembukaan makalah ini.
Sebagai bangsa Indonesia sepantasnya harus banyak bersyukur nikmat kepada Sang Kholik, karena sudah banyak dimanjakan oleh Nya dengan kesuburan tanah yang dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman, orang bilang tanah kita tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, hasil hutan dan lautan yang melimpah ruah tak terhitung banyaknya, keindahan alamnya yang menarik para wisatawan, kandungan minyak bumi, gas, emas, batubara dan lain-lain. Semua itu patut disyukuri dengan memelihara, melestarikan dan memanfaatkannya sebanyak-banyaknya untuk kepentingan masyarakat.
Salah satu cara bersyukur adalah memanfaatkan lingkunga hidup tersebut di jalan yang diridhoi Allah Swt. Namun bila mempergunakan lingkungan hidup di jalan yang dimurkai Allah Swt., misalnya membiarkan bumi (tanah) dan berbagai macam kemaksiatan tumbuh subur di negeri ini, para pemimpin negara banyak yang korupsi, kaum muda-mudi tidak risih memamerkan auratnya di depan umum, tayangan TV penuh dengan pornografi dan pornoaksi, maka jangan heran bila bencana silih berganti, sebagai peringatan dari Allah Swt. na’udzu billah min dzalik.
Sebagai penegasan akhir dari tulisan ini bahwa yang dimaksud dengan berakhlakulkarimah dengan lingkungan hidup adalah berani memelihara, melestarikan, dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia dalam rangka menuju ridho Allah Swt. Dan apabila dipergunakan untuk sebaliknya. Maka bersiap-siaplah menerima bencana yang maha dahsyat, seperti dijanjikan dalam al Qur’an :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“ Dan hendaklah kalian takut akan fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (Q.S.8: 25). Semoga.

Daftar Bacaan
1. Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : 2007
2. Az Zukhaily, Wahbah, al Tafsir al Munir, Bairut : Dar el Fikr, 1998
3. Ali Yafie, KH., Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994
4. Quraish Shihab,DR., Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992

MEMELIHARA AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP



MAKALAH

Disampaikan dalam Workshop Lingkungan Hidup di STAIN Cirebon



















Oleh :
Mursana, M.Ag
( Kandepag Kabupaten Cirebon )















DEPARTEMEN AGAMA
KANTOR KABUPATEN CIREBON
Jl. Sunan Drajat No. 5 Telp. (0231) 321254 Komplek Perkantoran Sumber 45611

NEGERI PARA TERSANGKA

Oleh: Mursana, M.Ag*


Semenjak genderang Reformasi digelorakan di Republik Indonesia pada tahun 1998 lalu, sungguh seringkali muncul peristiwa aneh yang dulu belum pernah terjadi. Salah satu peristiwa tersebut adalah banyaknya para pejabat negara dari kalangan sipil dan militer menjadi tersangka dalam kasus hukum, baik yang masih aktif di eksekutif, legislatif, dan di yudikatif. maupun yang sudah pensiun. Dimulai dari mantan Presiden dan para pembantunya (menteri, gubernur, bupati/walikota), Ketua dan anggota DPR/DPRD, pejabat dan mantan pejabat TNI/Polri, sampai dengan para pejabat BUMN/BUMD hampir sebagian besar ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Tetapi anehnya, mereka yang tersangkut dalam kasus ini sebagaian besar divonis bebas oleh Pengadilan Nergeri dan Mahkamah Agung. Atau walaupun ada yang sampai masuk sel penjara, akan tetapi hanya sebentar saja, setelah itu dibebaskan kembali.
Peristiwa bulan mei 2009 yang merupakan issue terpanas (hot Issue) adalah ditetapkannya Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus pembunuhan salah satu pejabat BUMN. Karuan saja peristiwa ini sangat menghebohkan penduduk negeri ini. Bagaimana tidak, orang yang sangat diharapkan oleh rakyat bisa menjadi pendekar pemberantas korupsi di Negara terkorup di Asia Tenggara, tiba-tiba ditetapkan oleh Polisi sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dan digelandang di Sel Tahanan Markas Kepolisian Daerah DKI Jakarta ( POLDA Metro Jaya ) pada hari senin, 04 mei 2009, setelah diadakan pemeriksaan oleh Kepolisian.
Bagaimana mungkin negeri ini akan menjadi negeri yang adil, subur dan makmur, gemah ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, kalau para pemimpinya tidak bisa menjadi suritauladan bagi rakyatnya? Sementara nilai sebuah kejujuran seakan-akan menjadi barang langka, sehingga saat ini sangat susah mencari kejujuran di Bumi Pertiwi yang mayoritas penduduknya muslim ini. Padahal di Republik Indonesia tercinta ini sangat membutuhkan para pemimpin yang jujur. Yakni pemimpin yang dipercaya oleh rakyatnya,. Karena salah satu krisis bangsa ini disebabkan para pemimpinnya tidak jujur. Lihat saja penyelewengan-penyelewengan terjadi di semua lini kehidupan. Dari mulai penyelewengan APBN, APBD yang dilakukan oleh pejabat Eksekutif dan Legislatif yang jumlahnya triliunan rupiah setiap tahunnya, belum lagi aksi para koruptor yang semakin gila. Bahkan di perusahaan-perusahaan baik milik negara maupun swasta tidak ketinggalan ikut andil dalam penyimpangan tersebut. Inilah dampak dari kekhianatan para pemimpin tersebut. Kemiskinan semakin merajalela, sementara lapangan kerja semakin langka, yang akibatnya pengangguran semakin menganga, aksi kejahatan dimana-mana. Maka pertanyaan yang sering muncul setelah melihat kondisi seperti di atas adalah, apakah negeri ini masih bisa bangkit dari keterpurukan? Jawabannnya ialah harus bisa bangkit. Bagaimanakah caranya? Caranya adalah hendaklah semua komponen bangsa ini sadar tentang hakekat dirinya, dan harus kembali kepada hati nuraninya. Hati nurani inilah yang bernama amanah dan kejujuran.


Krisis kepercayaan
Belakangan ini masyarakat Indonesia seolah-olah dirancang oleh para pemimpinnya menjadi bingung. Pasalnya para pemimpin yang diharapkan menjadi panutan ternyata sebaliknya. Terbukti ketika Pemilihan Umum tanggal 9 April 2009 lalu, partisipasi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politiknya dinilai sangat kurang maksimal. Jutaan warga negara tidak ikut memilih calon wakilnya (caleg) atau golput, terlepas apakah mereka tidak tercatat dalap Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau tidak, yang jelas rakyat kecewa dan sakit hati. Sudah bukan berita lagi apabila terdengar informasi dari media cetak atau elektronik perihal prilaku negatif para pemimpin negeri yang bergelar zamrud khatulistiwa. Lagi-lagi seorang pejabat Negara diperiksa KPK/Kejaksaan karena kasus penyelewengan yang merugikan negara milyaran bahkan triliunan. Begitu juga sering terdengar, lagi-lagi seorang pejabat negara terjerat kasus amoral: pelecehan seksual, Bandar judi, backing narkoba dan lain sebagainya.
Pada saat para oknum pemimpin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab, masyarakat dibuat bimbang. Sesungguhnya figur pemimpin seperti siapa yang harus diikuti segala prilakunya sebagai uswatun hasanah. Kalau melihat yang A seperti itu, lalu melihat yang B juga demikian. Akibat dari prilaku negatif para pemimpin, masyarakat sudah tidak mau lagi mendengar manuver-manuvernya atau mungkin membeli dagangan-dagangannya. Karena semua yang mereka lakukan adalah sebuah kemunafikan. Ibarat seekor binatang, mereka adalah monyet yang hidup di hutan belantara. Ketka monyet itu lapar dia turun ke bawah mencari makanan. Tetapi ketika perutnya kenyang, dia naik di atas singgasana kekuasaannya. Pada saat itulah sang monyet melupakan asal-usul makanannya. Demikian sama halnya yang dialami oleh para pemimpin negeri ini.
Solusi Islam
Setiap muslim diperintahkan untuk berlaku amanah dan memiliki akhlak yang baik serta sifat yang terpuji. Karena barangsiapa yang melakukan sifat-sifat tersebut, niscaya ia diberi balasan yang baik, di dunia maupun di akhirat. Dan barangsiapa yang meninggalkan khianat dan menipu karena Allah dengan segenap kejujuran dan keikhlasan, niscaya Allah mengganti hal tersebut dengan kebaikan yang banyak. Seorang sahabat nabi Saw. Abu Hurairah ra. meriwayatkan, Rasulullah Saw. bersabda: ''Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebuah guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya,”'Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!, Orang yang memiliki tanah itu pun menjawab, “Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya”. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata, “Apakah kalian berdua memiliki anak? Salah seorang dari mereka berkata, “Aku memiliki seorang anak laki-laki”. Yang lain berkata, “Aku memiliki seorang puteri”. Orang itu lalu berkata, “Nikahkanlah anak laki-laki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!”.' (HR. Al-Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).
Dalam riwayat lain diceritakan Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah Saw. bersabda bahwasanya beliau menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya hutang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang menghutanginya berkata, “Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan (hutangmu ini)”. Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!, Orang itu berkata, “Datangkanlah seseorang yang menjamin(mu)!, Ia menjawab, “Cukuplah Allah yang menjaminku!, Orang yang akan menghutanginya pun lalu berkata, “Engkau benar!, Maka uang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan. (Setelah lama) orang yang berhutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarnya karena hutangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut. Maka ia pun mengambil kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar di dalamnya berikut surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia menuju ke laut seraya berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin, maka aku katakan cukuplah Allah sebagai penjamin, dan ia pun rela dengannya. Ia juga meminta kepadaku saksi, maka aku katakan, cukuplah Allah sebagai saksi, dan ia pun rela dengannya. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah diberikannya kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepadaMu”, Lalu ia melemparnya ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang. Adapun orang yang memberi hutang itu, maka ia mencari kapal yang datang ke negerinya. Maka ia pun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkali ada kapal yang membawa titipan uangnya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan kayu yang di dalamnya terdapat uang. Ia lalu mengambilnya sebagai kayu bakar untuk isterinya. Namun, ketika ia membelah kayu tersebut, ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat. Setelah itu, datanglah orang yang berhutang kepadanya. Ia membawa uang 1000 dinar seraya berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang!, Orang yang menghutanginya berkata, “Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu dengan sesuatu?, Ia menjawab, “Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang?, Orang yang menghutanginya mengabarkan, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan beruntung!.
Dua riwayat hadits di atas memberikan motivasi kepada setiap insan agar dalam hidup ini senantiasa memelihara amanah (kepercayaan) dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, walaupun dirasakan sangat berat. Apabila para pemimpin memiliki kedua sifat tersebut, insya Allah akan dicintai rakyatnya. Dan mustahil akan dikejar-kejar oleh pihak kepolisian dan KPK sebagai tersangka dalam kasus hukum. Demikianlah gambaran pemimpin yang adil. Semoga negeri ini segera bangkit dari keterpurukan. Amiin
*Mursana, M.Ag. : Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis

PENDIDIKAN MORAL GAGAL, SALAH SIAPA? ( Sebuah Kado Hardiknas 02 Mei 2009 )

Oleh : Mursana, M.Ag

Perhatian sekolah dan orang tua siswa akhir-akhir ini tertuju pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang baru saja dilaksanakan. Untuk tingkat SMA/SMK/MA dilakukan dari 20 s/d 24 April 2009, sedangkan tingkat SMP/ MTs berlangsung dari 27 s/d 30 April 2009. Jauh hari mereka sudah mempersiapkan diri demi melancarkan penyelenggaraan Ujian Nasional dengan harapan agar anak-anak didiknya lulus dengan hasil yang memuaskan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Di mulai dengan program pengayaan, bimbingan try out, serta jam tambahan lain yang bersifat untuk menggembleng mental dan rasa percaya diri siswa dalam menyelesaikan soal. Kegiatan Istighotsah-pun belakangan ini popular di Sekolah-sekolah terutama setiap menghadapi Ujian Nasional. Sekolah akan merasa berhasil manakala peserta didiknya lulus 100% sehingga prestasi dan prestise akan terdongkrak dalam waktu yang bersamaan. Tidak heran jika Sekolah-sekolah menjadikan UN sebagai ajang kompetisi untuk mendapatkan popularitas. Bagi Sekolah unggulan dan favorit tentu hal tersebut adalah hal yang biasa, tetapi untuk sekolah yang kurang memadai justru terkesan dipaksakan. Coba bayangkan, bagaimana mungkin Sekolah yang berada di Pedesaan atau mungkin di Daerah-daerah terpencil yang sarana listrik atau alat komunikasi belum memadai, para siswanya harus dipaksakan supaya sejajar dengan para siswa yang berada di daerah perkotaan.
Akibat dari keadaan seperti inilah, semua elemen penyelenggara pendidikan dari mulai Pemerintah Daerah, Sekolah, Kepala sekolah, dan Team Sukses bekerja keras untuk mensukseskan kelulusan 100% demi gengsi daerah dan sekolah, walaupun dilakukan dengan berbagai cara. Kecurangan UN tidak terelakan lagi, mulai dari kebocoran soal, beredarnya SMS jawaban UN, team sukses UN siluman yang siap tempur dan lain-lain. Para siswa beragam dalam menghadapi UN ini. Ada yang serius dan ada juga yang menghadapinya dengan biasa-biasa saja, sehingga ada pemeo di kalangan siswa, “buat apa belajar serius, toh pada akhirnya juga akan dibantu oleh team sukses”. Inilah efek negatif dari pendidikan yang hanya berbasis / bersandarkan kelulusan dari kecerdasan IQ saja. sedangkan justru yang lebih utamanya yaitu kecerdasan spiritual (SQ) dikesampingkan. Pendidikan yang hanya berbasis IQ tanpa diimbangi dengan SQ sejatinya hanya akan melahirkan manusia-manusia sombong dan amoral.
Rasanya sudah lebih sepuluh tahun berjalan krisis moneter melanda Bangsa Indonesia, namun sampai dengan saat ini nampaknya kehidupan Bangsa Indonesia tidak bertambah baik, bahkan masalah yang dihadapi masyarakat semakin bertambah kompleks. Berawal dari krisis moneter lalu berkembang menjadi krisis multidimensi yang tidak bisa dielakan lagi. Berkenaan dengan itu kehidupan masyarakat Indonesia pun turut berubah, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, akhlak maupun sosial budaya. Perubahan yang paling dominan dalam masyarakat Indonesia adalah perubahan dibidang akhlak dan sosial budaya. Sering kita saksikan di Televisi berita-berita yang dulu jarang kita saksikan di negeri ini, seperti penyebaran Narkoba oleh pelajar, maraknya VCD dan gambar porno yang dilakukan oleh kalangan pelajar, traffiking, pelecehan sexual yang dilakukan antar pelajar bahkan dengan gurunya sendiri, tawuran antar pelajar dan lain-lain berita yang sering kita saksikan setiap hari di Televisi. Begitupun yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita, gotong royong, bahasa kromo inggil, budaya ketimuran nampaknya sudah terjadi pergeseran. Kenapa semua itu bisa terjadi pada saat reformasi digulirkan? Apakah guru-guru kita kurang berkwalitas tingkat kependidikannya? Atau apakah mungkin guru-guru kita sangat rendah sekali moralnya, sehingga sangat kesulitan bagi para pelajar, guru yang mana sebenarnya yang harus diteladani? Sering kita jumpai Sekolah yang mempunyai peraturan sangat ketat, tetapi peraturan itu sedikitpun tidak berdampak positif bagi siswanya. Misalnya Sekolah melarang merokok. Ternyata ketika di luar Sekolah siswa merokok karena melihat guru panutannya itu merokok. Atau mungkin Sekolah melarang siswanya tawuran, tetapi ternyata ketika mereka pulang sekolah melihat tayangan TV para pejabat dan wakil rakyatnya tawuran, maka mereka-pun ikut tawuran. Inilah pertanyaan dan hal-hal yang selalu muncul di tengah masyarakat kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari bertanya kepada hati nurani kita masing-masing. Sebab yang paling tahu jawabannya adalah hati nurani. Setiap kali kasih dan sayang dinodai, kejujuran dilecehkan, tanggung jawab diabaikan, disiplin dipermainkan, kerjasama diacuhkan, keadilan tidak ditegakkan, kepedulian tidak dihiraukan, kedamaian tidak dijunjung tinggi dan kesucian dikotori, maka pasti setiap hati nurani manusia tidak akan menerima atas perlakuan tersebut. Karena sifat-sifat tersebut merupakan suara hati manusia yang paling dalam (fitrah), yang dalam istilah Ary Ginanjar Agustian disebut God Spot. Sifat-sifat baik itulah yang kini nampaknya mengalami krisis di kalangan para penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Pada tulisan sederhana ini Penulis berusaha menawarkan kepada para penyelenggara pendidikan suatu konsep pendidikan akhlak (sebut saja moral) yang sudah teruji keberhasilannya, agar diterapkan di Sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.
Diantara konsep pendidikan akhlak (moral) yang ada, hanya konsep pendidikan akhlak pesantrena yang ditulis oleh al-Zarnujiy yang masih tetap eksis keberadaannya di Indonesia ini khususnya di Jawa. Konsep pendidikan al-Zarnujiy yang dimuat dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” diajarkan di Pesantren Salafiyah sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata out put dari konsep pendidikan ini sukses. Para santri yang mempelajari kitab ini bukan hanya menjadi santri yang berakhlakul karimah terhadap gurunya, orang tuanya, keluarganya, juga teman-temannya dalam pergaulan, tetapi juga menjadi santri yang taqwa kepada Allah, berguna bagi keluarganya, nusa, bangsa dan agamanya. Sehingga tidak jarang para alumni Pesantren Salafiyah yang dulunya mempelajari konsep pendidikan al-Zarnujiy ini, ilmunya benar-benar bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat sekitarnya, kapan dan dimanapun mereka hidup.
Oleh karena itu atas keberhasilan konsep ini, sampai saat ini diberbagai Pesantren Salafiyah, kitab “Ta’lim al-Muta’allim” menjadi kitab wajib yang harus dipelajari oleh santri baru. Karena dengan doktrin-doktrin yang ada dalam kitab ini, seorang santri menjadi disiplin, taat peraturan, bisa bergaul dan akan istiqomah dalam beribadah kepada Allah SWT. Namun jangan lupa bahwa seluruh doktrin yang ada dalam kitab ini sesungguhnya merupakan konsep. Sebuah konsep biasanya dibuat karena berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu. Konsep masa lalu ada kalanya cocok dipakai sekarang dan ada kalanya tidak cocok dipakai sekarang. Maka pantas kalau dulu KH.DR.Sayid Aqil Sjiraj, MA (kang Said) pernah berpendapat bahwa siapapun tidak boleh mengkultuskan kitab Ta’lim al-Muta’allim.
Kalau kita melihat pada realitas pendidikan di sekitar kita dewasa ini, apalagi pendidikan akhlak (moral), sangatlah mengenaskan, kering dari konsep morality ilahy. Sedangkan bidang materialistis yang diharapkan berhasil dari lulusannya, ternyata hanya sukses dari segi materi. Sehingga tidak heran kalau di Indonesia ini mengalami krisis yang sangat menyakitkan ini. Hal ini tidak lain hanya kerena terjadi krisis moral pada setiap individu kita. Baik dari lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis umum atau yang berbasis keagamaan.
Kita tidak kesulitan menemukan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (seperti pesantren atau sekolah-sekolah yang nota-bene di bawah naungan Depag: UIN, IAIN, atau STAIN) secara etika sangat memalukan, karena tidak sedikit orang yang bertitel tokoh agama atau profesor dan doktor dalam bidang keagamaan, bahkan orang yang hidup di lingkungan pendidikan agama dan keagamaan, tidak punya rasa malu melakukan korupsi. Begitu juga tidak repot kita dapatkan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis umum (seperti UI, UGM atau yang lain) dengan profesi sebagai dokter, insinyur, bangkir, bisnisman, atau lainnya yang tidak kalah memalukan, tapi kerap kali ulah mereka jarang dideteksi karena mereka sudah tidak asing dengan permainan angka.
Hal ini semua karena terjadinya krisis akhlak (dekadensi moral), karena krisis akhlak adalah asal terjadinya segala krisis di Indonesia kita ini. Maka Penulis meyakini, konsep pendidikan yang berdasarkan akhlak-lah yang bisa menjadi solusi utama untuk bisa mengikis habis segala krisis tersebut. Dan konsep pendidikan akhlak al-Zarnujiy ini patut dijadikan alternatif untuk hal tersebut. Karena konsep al-Zarnujiy sangatlah komprehensif, tidak mengedepankan akhlak yang vertikal (Illahiyah) atau horizontal (Insaniyah dan Khalqiyah) saja, melainkan memposisikan keduanya dalam posisi yang sebanding. Karena, kalau krisis yang multi ini hanya diselesaikan dengan usaha yang vertikaly (Illahiyah), hanya dengan istighatsah, dzikir, majlis ta’lim, atau renungan-renungan kalbu saja, hal itu hanya akan membuat impoten dan mandul saja. Begitu pula, kalau hanya diselesaikan secara horizontaly (insaniy dan khalqiy) maka yang didapat hanyalah kering dan kosong). Sedangkan solusi yang paling tepat adalah penggabungan dua arah tersebut, sehingga terjadi keseimbangan (balance). Dan akhirnya kita hanya bisa berdo’a Allah SWT sebagai Dzat yang paling berotoritas atas segalanya yang ada, dimanapun, dan kapanpun, : Allahumma ahsin khuluqiy kama ahsanta khalqiy”.
Demikian mudah-mudahan konsep ini bisa dijadikan alternatif untuk diterapkan bukan hanya di Pesantren atau Sekolah-sekolah yang berbasis agama tetapi juga di Sekolah-sekolah yang berbasis umum. Semoga krisis ini segera berakhir. Amiin
Mursana, M.Ag.: Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis