Kamis, 18 Februari 2010

GURU : SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS

Oleh : TAUFIQ RAHMAN, M.Ag

Dalam bahasa Arab, dijumpai kata ustadz, mu’allim, mudarris, dan muaddib. Kata ustadz berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. Kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan lecturer (dosen). Kata mu’allim juga berarti juga teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Selanjutnya, kata muaddib berarti educator (pendidik), teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an). (Abuddin Nata : 1997, h. 61). Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan ini bisa siapa saja dan di mana saja.



Ada tiga posisi bagi guru berkenaan dengan tugasnya sebagaimana dijelaskan oleh S. Nasution. Pertama, sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan. Dengan tugasnya ini, maka guru harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahan yang akan diajarkannya. Sebagai tindak lanjutnya, maka seorang guru tidak boleh berhenti belajar. Dalam hubungan ini, pendidikan guru dalam berbagai bentuknya amat memegang peranan penting. Selain itu, dipandang perlu juga menyediakan fasilitas, memperbaiki nasib guru, dan peningkatan kesejahteraan hidupnya, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Kedua, guru sebagai model dalam bidang studi yang diajarkannya yang merupakan sesuatu yang berguna dan dipraktikkan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga guru tersebut menjadi model atau contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran tersebut. Hal ini akan lebih nampak pada pelajaran bidang studi akhlaq, keimanan, kebersihan, dan sebagainya. Ketiga, guru juga menjadi model sebagai pribadi, apakah ia berdisiplin, cermat berpikir, mencintai pelajarannya atau yang mematikan idealisme dan picik dalam pandangannya. (S. Nasution : 1988, h. 16-17)
Selanjutnya, jika kita mencoba mengikuti petunjuk al-Qur’an, akan dijumpai informasi bahwa yang menjadi pendidik secara garis besar ada empat. Pendidik pertama adalah Tuhan, Allah swt. Sebagai guru, Allah menginginkan manusia menjadi baik dan bahagia di dunia dan di akhirat. Karena itu mereka harus memiliki etika dan bekal pengetahuan. Untuk mencapai tujuan tersebut Allah mengutus Nabi-Nabi yang patuh dan tunduk pada kehendak-Nya. Para Nabi menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia. Ajaran yang diterima umat manusia itu dapat memberi petunjuk mengenai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dari berbagai ayat al-Qur’an dan hadits yang membicarakan kedudukan Allah sebagai guru dapat dipahami, Allah memiliki pengetahuan yang amat luas (al-Alim). Ia juga Pencipta, Maha Pemurah, Maha Tinggi, Penentu, Pemelihara, Pembimbing, dan Pemberi Petunjuk. (QS. Al-Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, al-Muddatstsir, al-Takwir, dan al-A’la). Pendidik kedua adalah para Nabi, dan Nabi yang terdekat dengan kita adalah Nabi Muhammad saw. Sejalan dengan pembinaan yang dilakukan Allah terhadap Nabi Muhammad, Allah juga meminta beliau agar membina masyarakat (QS. Al-Muddatstsir : 74), menyampaikan petunjuk al-Qur’an, dan dilanjutkan dengan mensucikan (mendidik) dan mengajarkan manusia ( QS. 67 : 4 ). Pendidik ketiga adalah orang tua. Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki orang tua sebagai guru, yaitu memiliki hikmah (kebijaksanaan) atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio, dapat bersyukur kepada Allah, suka menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah, memerintahkan anaknya agar menjalankan shalat, dan sabar dalam menghadapi penderitaan. (QS. Luqman, 31 : 12-19). Pendidik keempat adalah orang lain. Informasi ini amat jelas jika kita lihat dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 60-82 yang menyebutkan bahwa Nabi Musa diperintahkan agar mengikuti Nabi Khidir dan belajar kepadanya.
Dengan demikian dalam al-Qur’an ada empat pendidik, yaitu Allah swt., para Nabi, kedua orang tua, dan orang lain. Orang yang keempat inilah yang selanjutnya disebut guru. Bergesernya tugas mendidik dari kedua orang tua kepada orang lain (guru) lebih lanjut dijelaskan oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, pada mulanya, tugas mendidik itu adalah murni tugas kedua orang tua, jadi tidak perlu orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah untuk diajar oleh guru. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah demikian luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain itu, sangat tidak efektif dan ekonomis jika orang tua mendidik anaknya sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi di rumah, oleh dirinya sendiri, sekalipun orang tuanya mampu menyelenggarakannya.
Adapun berkenaan dengan fungsi manusis sebagai hamba dan khalifah, maka guru tidak hanya harus tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam bentuk mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan dalam seluruh pribadinya, tetapi sekaligus ia dituntut menjadi penguasa alam, atau pemelihara alam sebagai wakil Tuhan di bumi. Di sinilah guru dituntut menjadi inspirator, motivator, sekaligus evaluator terhadap seluruh bangunan keilmuan yang dikehendaki oleh Allah. Meminjam istilah Rabindranat Tagore, bahwa guru harus mampu menjadi share of order dalam kesemestaan. Artinya, guru dituntut menjadi motif spiritual dan sekaligus menjadi motivator dalam membaca tanda-tanda adanya Allah dalam ayat Kauniyah-Nya (alam semesta) itu sebagai sumber dasar dalam melahirkan ilmu pengetahuan (science). Membaca ayat-ayat kauniyah-Nya bukan saja berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan juga untuk kebutuhan manusia sebagai hamba Allah. *( Staf Pelaksana Mapenda Kandepag Kab. Cirebon)

1 komentar: