Kamis, 18 Februari 2010

GURU : SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS

Oleh : TAUFIQ RAHMAN, M.Ag

Dalam bahasa Arab, dijumpai kata ustadz, mu’allim, mudarris, dan muaddib. Kata ustadz berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. Kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan lecturer (dosen). Kata mu’allim juga berarti juga teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Selanjutnya, kata muaddib berarti educator (pendidik), teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an). (Abuddin Nata : 1997, h. 61). Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan ini bisa siapa saja dan di mana saja.

Rabu, 10 Februari 2010

MENJADI SANTRI KEHIDUPAN

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Dalam definisi Clifford Geerts (1989) perkataan santri mempunyai arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid di suatu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Sedangkan dalam arti luas santri adalah bagian dari penduduk jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, shalat, pergi ke masjid pada hari Jum’at, mengaji dan lain-lain. Kegiatan keseharian santri, disamping mengaji juga dilatih kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban agama seperti sholat berjamaah dan puasa. Dalam banyak pesantren, seorang santri yang tidak ikut sholat berjama’ah dikenakan hukuman ringan yang sifatnya mendidik. Adakalanya hukuman berupa membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an atau membersihkan lingkungan pesantren. Ada lagi anjuran untuk melakukan puasa sunnah atau dzikir-dzikir tertentu secara kolektif yang dikerjakan pada waktu-waktu tertentu.

PESAN SPIRITUAL BULAN SHAFAR

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Dalam tarikh hijriyah shafar merupakan bulan ke dua setelah muharram. Menurut Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus shafar-ashfar berarti kosong atau angka nol. Jadi shafar adalah bulan untuk mengosongkan segala kotoran atau membersihkan jiwa dan raga dari berbagai amalan yang cenderung mengandung unsur noda dan dosa. Pada bulan ini sebagian masyarakat Cirebon masih mempercayai bahwa shafar adalah bulan musim kawin hewan (hingga sering terdengar ungkapan bahwa safar, bulan kawin anjing). Menurut penuturan beberapa Kepala KUA di Kabupaten Cirebon, hampir setiap bulan shafar sepi dari acara pernikahan. Disamping itu juga bulan shafar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau bala’ terlebih lagi pada hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah “Rebo Wekasan”. Di beberapa wilayah, sebagian masyarakat tidak melakukan pekerjaan yang berat atau bepergian pada hari rebo wekasan. Mereka berkeyakinan, apabila melakukan hal-hal di atas maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal sampai saat ini masih belum ada literature yang valid dan dapat dipercaya dari mana asal-usul keyakinan tersebut.
Ada tiga tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat Cirebon setiap bulan shafar, yaitu: “Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan”. Ketiga macam kegiatan tersebut selanjutnya disebut shafaran. Pertama, upacara ngapem. Menurut beberapa sumber dari orang tua jaman dulu (para sepuh) bahwa Ngapem berasal dari kata Apem yaitu membuat kue adonan yang terbuat dari tepung beras yang di fermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Mayoritas masyarakat Cirebon masih melakukan tradisi ngapem ini dengan membagi-bagikannya kepada tetangga yang bertujuan untuk mengungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta/alkhaliq (Selametan berbentuk shadaqah apem) di bulan sapar supaya terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka. Sebab nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa Shadaqah adalah dapat menolak bala’(musibah).
Dari tradisi ngapem tersebut paling tidak ada dua pesan moral yang di patut diambil hikmahnya, yaitu: 1) tradisi ngapem sebagai symbol bahwa masyarakat Cirebon harus senantiasa memperhatikan nasib kaum fakir miskin, anak yatim, dan kaum dhu’afa lainnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw., 2) tradisi ngapem melambangkan tentang pentingnya shilaturrahim antar tetangga dan kerabat dekat karena di bulan ini penuh dengan musibah. Mudah-mudahan dengan tradisi ngapem (tawassul dengan shodaqah apem) ini masyarakat Cirebon terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka.
Kedua, upacara ngirab. Secara bahasa ngirab berarti menggerakkan sesuatu untuk membersihkan berbagai kotoran. Dalam catatan Carubannagari; pada bulan shafar ini konon di yakini oleh Sunan kalijaga, untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan beliau mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Hal ini akhirnya di ikuti oleh masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi di tempat yang di yakini dulu oleh Sunan kalijaga. Selanjutnya tradisi ini disebut “Ngirab” artinya menggerakan sesuatu untuk membuang yang kotor.
Pelajaran yang bisa diambil dari tradisi ini, ngirab merupakan symbol pertaubatan. bahwa untuk menjauhkan diri dari datangnya berbagai musibah, masyarakat Cirebon harus melakukan ngirab, pembersihan diri dari berbagai kotoran, noda, dan dosa atau hal-hal yang mengarah kepada kemaksiatan/munkarat dengan memperbanyak taubat dan minta ampun kepada Allah (istighfar).
Ketiga, upacara Rebo Wekasan. Rebo Wekasan berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti hari rabu terakhir di bulan shafar. Dalam beberapa sumber kitab klasik disebutkan bahwa sebagian al’arifin (ahli ma’rifat) berpendapat, sesungguhnya di dalam setiap tahun diturunkan 320.000 bala’. Semuanya itu terjadi pada hari rabu terakhir (rebo wekasan) bulan shafar. Maka barangsiapa yang mendirikan shalat pada hari itu 4 raka’at dengan membaca Surat al-Kautsar 17 kali setelah Surat Al-Fatihah di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do’a setelah salam: Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma yaa syadiidal quwaa wa yaa syadiidal mihal, maka Allah akan menjaganya dari semua bala’ atau malapetaka dengan keutamaan dan kemulyaanNya.
Hikmah yang bisa dipetik dari tradisi yang ketiga ini adalah apabila akan terjadi suatu bencana atau musibah maka dianjurkan agar setiap insan lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) Sang Penguasa Alam Semesta dengan cara melaksanakan ibadah shalat, dzikir, dan do’a. karena setiap makhluk berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah jua, Wainnaa ilaihi raaji’uun. Disamping ketiga tradisi tersebut, ada tradisi tawurji yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar dengan berselendangkan sarung dan berpeci, mendatangi orang-orang yang ada di toko-toko atau perumahan-perumahan untuk meminta infaq dengan mengucapkan: “Wur tawur Ji- tawur-selamet dawa umur” (pak haji-bu haji, beri aku infaq, semoga panjang umur) yang disenandungkan secara berulang-ulang. Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan tawurji.
Demikian beberapa pesan spiritual yang bisa diambil dari tradisi shaparan (penuh symbol) semoga masyarakat Cirebon senantiasa melestarikan budaya ini sepanjang masa. Amiin.

KUNCI SUKSES

Oleh: Drs. H. Rifa’i, M.Pd*
“Saya tidak besar, saya tidak tangguh, saya tidak kuat, saya hanyalah orang yang selalu bekerjasama, saya selalu melakukan hal yang benar, maka dari itu saya berhasil”. Penggalan bait nyanyian tersebut sering kita dengar ketika menyaksikan anak-anak bermain di halaman rumah. Nyanyian itu kedengarannya sederhana, akan tetapi sangat berharga dalam memberikan inspirasi bagi kesuksesan hidup seseorang. Dari bait syair di atas paling tidak ada dua kunci kesuksesan bagi seseorang, yaitu selalu melakukan hal yang benar dan selalu bekerjasama. Jadi kalu kita ingin sukses lakukan dari sekarang hal-hal yang dianggap benar menurut aturan dan nurani serta jangan lupa bekerjasama dengan berbagai pihak; antara atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan, atau mungkin bawahan dengan atasan dalam hal yang benar tentunya.
Kedua hal itu kalau diteliti secara seksama ternyata merupakan bagian dari Al-Asmaul Husna yakni alhaq dan aljami’. Artinya kalau kedua ism itu diamalkan, kita tidak hanya memperoleh kesuksesan di dunia tetapi juga di akhirat. Sukses di dunia diantaranya; menjadi orang besar, tangguh, kuat, dicintai dan dihormati masyarakat. Bukan karena jabatannya tetapi karena suka melakukan yang benar dan bekerjasamanya. Sedangkan kesuksesan di akhirat adalah jaminan Allah masuk surga. Sebagaimana Rasulullah Saw.bersabda: “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Barang siapa yang berakhlak dengan salah satu dari akhlak-Nya (asmaul husna), ia akan masuk sorga.” (Al-Hadits).
Melalui tulisan ini Penulis mengajak kepada seluruh masyarakat, apapun statusnya untuk bersama-sama memelihara Al-Asmaul Husna sesuai dengan profesinya. Karena Allah pernah berfirman dalam kitab suciNya; “Dan kepunyaan Allahlah Al-Asmaul Husna (nama-nama yang agung/baik yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmaul Husna itu. Dan tinggalkanlah orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan” (Q.S. 7 : 180).
Ayat tersebut di atas merupakan perintah Allah, agar kita selalu berdo’a dan mengumandangkan nama-nama Allah yang agung dimanapun berada, apapun status sosial kita. Apakah sebagai pejabat pemerintah, pejabat di lingkungan TNI & POLRI, pemimpin perusahaan atau bahkan rakyat biasa. Dengungkan Al-Asmaul Husna di kantor, perusahaan, tempat bisnis, sawah, lading dan seterusnya. Selanjutnya Allah menyuruh agar kita meninggalkan orang-orang (baik sebagai pejabat atau rakyat) yang coba-coba mengotori, mencemarkan atau bahkan kata Ibnu Katsir yang menukil pendapat Ibnu ‘Abbas, “mendustakan” nama-nama yang agung tersebut. Kalau perlu kita lawan oran-orang yang mengotori kasih sayang dan kejujuran, yang menodai keadilan dan mengotori nama-nama Allah yang lainnya. Jangan lupa siapa pun orangnya, apapun status sosialnya yang dengan sengaja mengotori nama-nama Allah yang Agung akan mendapat balasan kelak di akherat. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bisa menjaga (mengaplikasikan nilai-nilai) Asmaul Husna, maka ia masuk sorga” (H.R. Bukhori dan Muslim).
Disamping kedua kunci di atas, kesuksesan juga akan semakin kokoh dan sempurna tatkala berbagai pihak yang terkait saling membangun kepercayaan (amanah), tidak saling berkhianat. Untuk membangun kepercayaan sebaiknya melakukan langkah-langkah yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang sukses pada masa lampau. Langkah-langkahnya adalah: 1) ta’aruf, saling mengenal antar personal. Dari ta’aruf ini nantinya akan melahirkan, 2) tafahum, sebuah sikap saling memahami, menghargai dan toleransi keberadaan antar individu, misalnya pemimpin dengan bawahannya. Dari langkah ini akan membentuk, 3) tarahum,pribadi-pribadi yang saling sayang-menyayangi. Kalau langkah ini sudah tercipta, maka terbangunlah, 4) takamul, saling melengkapi atau menyempurnakan kekurangan antar personal. Setelah berhasil melakukan takamul, maka selanjutnya akan melahirkan, 5) takaful, sebuah pribadi yang menjunjung tinggi tanggungjawab terhadap profesinya.
Kelima langkah tersebut akan terbina tatkala setiap personal sadar diri, sadar posisi, dan sadar situasi. Sadar diri artinya kita harus menyadari siapa diri kita sesungguhnya. Sadar posisi maksudnya kita harus memahami posisi kita sebenarnya sebagai apa. Kalau sebagai bawahan, jangan coba-coba bertindak sebagaimana layaknya seorang pimpinan. Adapun yang dimaksud dengan sadar situasi adalah kita harus memahami berbagai situasi ketika akan melaksanakan sebuah program kerja.
Demikian beberapa langkah yang harus dilakukan apabila kita bertekad ingin menjadi orang sukses. Untuk memenuhi langka-langkah tersebut dibutuhkan keberanian dalam bertindak dan pengorbanan. Itulah resiko sebuah perjuangan. Semoga sukses selalu. Amiin.

*Drs.H.Rifa’i, M.Pd; Kepala Kandepag Kab. Cirebon

HATI NURANI

Oleh: Drs. H. Rifa’i, M.Pd*

Secara lughawy hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hajjatul Islam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat merangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk.
Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda,”Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”. Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah SWT. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak).
Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.”
Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah SWT., menjadi orang yang berkuasa misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Illahi (Hidayah); menegakkan amanah propesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani berantas kemungkaran misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, ketika hati nurani tidak ada pada hati manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapat cahaya Illahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Masih terngiang ditelinga kita, tiga tahun yang lalu bangsa ini sempat tercengang dengan peristiwa yang sangat menusuk hati yaitu pada bulan Maret 2007 di Malang Jawa Timur dikejutkan dengan berita seorang ibu membunuh dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya. Pada bulan Mei 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta dikejutkan dengan berita seorang ibu dan anaknya membakar diri hidup-hidup sampai mati di rumahnya. Pada bulan Agustus 2007, seorang ibu membunuh anak tirinya “Rasnah” kelas 1 SLTP, dengan alasan anak tersebut tidak mau cuci piring, di Pare-pare Sulawesi Selatan, pada awal bulan September 2007, seorang ibu di Batam membunuh dua orang anaknya. Dan yang lebih ngeri lagi di Maumere Nusa Tenggara Timur, seorang bayi berumur sembilan hari dianiaya ibunya, karena tekanan ekonomi. Na’udzu billahi min dzalik.
Berita-berita tersebut di atas menggambarkan bahwa apabila seorang manusia tidak bisa memfungsikan hatinya dengan baik sesuai dengan cahaya Illahi (tidak berhati nurani), mempunyai mata tidak bisa digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, tetapi tidak bisa digunakan untuk mendengarkan tanda-tanda kekuasaan Allah, maka bagi mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih jahat dari itu (baca : Q.S.7:179). Seekor induk Harimau atau Singa walaupun galak dan buas tidak akan pernah membunuh anak-anaknya. Tetapi manusia kenapa lebih buas dari pada seekor Harimau atau Singa, si raja hutan atau raja rimba? Jawabannya karena manusia seperti itu tidak mempunyai hati nurani, sehingga hilang sifat-sifat terpujinya seperti cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan lain-lain. Mereka bukannya tidak setuju dengan cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan lain-lain. Tetapi hati mereka itu tertutup belenggu/kepentingan, sehingga hawa nafsunya lebih dominan daripada suara hatinya.
Begitu pula dengan berbagai peristiwa penyimpangan di negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, penjarahan, pengrusakan, pembakaran, pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya, merupakan akibat dari hati manusia yang telah gelap. Semoga.

*Drs.H.Rifa’i, M.Pd; Kepala Kandepag Kab. Cirebon