Rabu, 10 Februari 2010

PESAN SPIRITUAL BULAN SHAFAR

Oleh: Mursana, M.Ag
(Ketua Pokjaluh Kandepag Kab.Cirebon, alumni Pesantren Darussalam Ciamis)

Dalam tarikh hijriyah shafar merupakan bulan ke dua setelah muharram. Menurut Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus shafar-ashfar berarti kosong atau angka nol. Jadi shafar adalah bulan untuk mengosongkan segala kotoran atau membersihkan jiwa dan raga dari berbagai amalan yang cenderung mengandung unsur noda dan dosa. Pada bulan ini sebagian masyarakat Cirebon masih mempercayai bahwa shafar adalah bulan musim kawin hewan (hingga sering terdengar ungkapan bahwa safar, bulan kawin anjing). Menurut penuturan beberapa Kepala KUA di Kabupaten Cirebon, hampir setiap bulan shafar sepi dari acara pernikahan. Disamping itu juga bulan shafar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau bala’ terlebih lagi pada hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah “Rebo Wekasan”. Di beberapa wilayah, sebagian masyarakat tidak melakukan pekerjaan yang berat atau bepergian pada hari rebo wekasan. Mereka berkeyakinan, apabila melakukan hal-hal di atas maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal sampai saat ini masih belum ada literature yang valid dan dapat dipercaya dari mana asal-usul keyakinan tersebut.
Ada tiga tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat Cirebon setiap bulan shafar, yaitu: “Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan”. Ketiga macam kegiatan tersebut selanjutnya disebut shafaran. Pertama, upacara ngapem. Menurut beberapa sumber dari orang tua jaman dulu (para sepuh) bahwa Ngapem berasal dari kata Apem yaitu membuat kue adonan yang terbuat dari tepung beras yang di fermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Mayoritas masyarakat Cirebon masih melakukan tradisi ngapem ini dengan membagi-bagikannya kepada tetangga yang bertujuan untuk mengungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta/alkhaliq (Selametan berbentuk shadaqah apem) di bulan sapar supaya terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka. Sebab nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa Shadaqah adalah dapat menolak bala’(musibah).
Dari tradisi ngapem tersebut paling tidak ada dua pesan moral yang di patut diambil hikmahnya, yaitu: 1) tradisi ngapem sebagai symbol bahwa masyarakat Cirebon harus senantiasa memperhatikan nasib kaum fakir miskin, anak yatim, dan kaum dhu’afa lainnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw., 2) tradisi ngapem melambangkan tentang pentingnya shilaturrahim antar tetangga dan kerabat dekat karena di bulan ini penuh dengan musibah. Mudah-mudahan dengan tradisi ngapem (tawassul dengan shodaqah apem) ini masyarakat Cirebon terhindar dari berbagai musibah dan malapetaka.
Kedua, upacara ngirab. Secara bahasa ngirab berarti menggerakkan sesuatu untuk membersihkan berbagai kotoran. Dalam catatan Carubannagari; pada bulan shafar ini konon di yakini oleh Sunan kalijaga, untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan beliau mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Hal ini akhirnya di ikuti oleh masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi di tempat yang di yakini dulu oleh Sunan kalijaga. Selanjutnya tradisi ini disebut “Ngirab” artinya menggerakan sesuatu untuk membuang yang kotor.
Pelajaran yang bisa diambil dari tradisi ini, ngirab merupakan symbol pertaubatan. bahwa untuk menjauhkan diri dari datangnya berbagai musibah, masyarakat Cirebon harus melakukan ngirab, pembersihan diri dari berbagai kotoran, noda, dan dosa atau hal-hal yang mengarah kepada kemaksiatan/munkarat dengan memperbanyak taubat dan minta ampun kepada Allah (istighfar).
Ketiga, upacara Rebo Wekasan. Rebo Wekasan berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti hari rabu terakhir di bulan shafar. Dalam beberapa sumber kitab klasik disebutkan bahwa sebagian al’arifin (ahli ma’rifat) berpendapat, sesungguhnya di dalam setiap tahun diturunkan 320.000 bala’. Semuanya itu terjadi pada hari rabu terakhir (rebo wekasan) bulan shafar. Maka barangsiapa yang mendirikan shalat pada hari itu 4 raka’at dengan membaca Surat al-Kautsar 17 kali setelah Surat Al-Fatihah di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do’a setelah salam: Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma yaa syadiidal quwaa wa yaa syadiidal mihal, maka Allah akan menjaganya dari semua bala’ atau malapetaka dengan keutamaan dan kemulyaanNya.
Hikmah yang bisa dipetik dari tradisi yang ketiga ini adalah apabila akan terjadi suatu bencana atau musibah maka dianjurkan agar setiap insan lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) Sang Penguasa Alam Semesta dengan cara melaksanakan ibadah shalat, dzikir, dan do’a. karena setiap makhluk berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah jua, Wainnaa ilaihi raaji’uun. Disamping ketiga tradisi tersebut, ada tradisi tawurji yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar dengan berselendangkan sarung dan berpeci, mendatangi orang-orang yang ada di toko-toko atau perumahan-perumahan untuk meminta infaq dengan mengucapkan: “Wur tawur Ji- tawur-selamet dawa umur” (pak haji-bu haji, beri aku infaq, semoga panjang umur) yang disenandungkan secara berulang-ulang. Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan tawurji.
Demikian beberapa pesan spiritual yang bisa diambil dari tradisi shaparan (penuh symbol) semoga masyarakat Cirebon senantiasa melestarikan budaya ini sepanjang masa. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar