Kamis, 20 Agustus 2009

PENDIDIKAN MORAL GAGAL, SALAH SIAPA?

( Sebuah Kado Hardiknas 02 Mei 2009 )

Oleh : Mursana, M.Ag

Perhatian sekolah dan orang tua siswa akhir-akhir ini tertuju pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang baru saja dilaksanakan. Untuk tingkat SMA/SMK/MA dilakukan dari 20 s/d 24 April 2009, sedangkan tingkat SMP/ MTs berlangsung dari 27 s/d 30 April 2009. Jauh hari mereka sudah mempersiapkan diri demi melancarkan penyelenggaraan Ujian Nasional dengan harapan agar anak-anak didiknya lulus dengan hasil yang memuaskan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Di mulai dengan program pengayaan, bimbingan try out, serta jam tambahan lain yang bersifat untuk menggembleng mental dan rasa percaya diri siswa dalam menyelesaikan soal. Kegiatan Istighotsah-pun belakangan ini popular di Sekolah-sekolah terutama setiap menghadapi Ujian Nasional. Sekolah akan merasa berhasil manakala peserta didiknya lulus 100% sehingga prestasi dan prestise akan terdongkrak dalam waktu yang bersamaan. Tidak heran jika Sekolah-sekolah menjadikan UN sebagai ajang kompetisi untuk mendapatkan popularitas. Bagi Sekolah unggulan dan favorit tentu hal tersebut adalah hal yang biasa, tetapi untuk sekolah yang kurang memadai justru terkesan dipaksakan. Coba bayangkan, bagaimana mungkin Sekolah yang berada di Pedesaan atau mungkin di Daerah-daerah terpencil yang sarana listrik atau alat komunikasi belum memadai, para siswanya harus dipaksakan supaya sejajar dengan para siswa yang berada di daerah perkotaan.

Akibat dari keadaan seperti inilah, semua elemen penyelenggara pendidikan dari mulai Pemerintah Daerah, Sekolah, Kepala sekolah, dan Team Sukses bekerja keras untuk mensukseskan kelulusan 100% demi gengsi daerah dan sekolah, walaupun dilakukan dengan berbagai cara. Kecurangan UN tidak terelakan lagi, mulai dari kebocoran soal, beredarnya SMS jawaban UN, team sukses UN siluman yang siap tempur dan lain-lain. Para siswa beragam dalam menghadapi UN ini. Ada yang serius dan ada juga yang menghadapinya dengan biasa-biasa saja, sehingga ada pemeo di kalangan siswa, “buat apa belajar serius, toh pada akhirnya juga akan dibantu oleh team sukses”. Inilah efek negatif dari pendidikan yang hanya berbasis / bersandarkan kelulusan dari kecerdasan IQ saja. sedangkan justru yang lebih utamanya yaitu kecerdasan spiritual (SQ) dikesampingkan. Pendidikan yang hanya berbasis IQ tanpa diimbangi dengan SQ sejatinya hanya akan melahirkan manusia-manusia sombong dan amoral.

Rasanya sudah lebih sepuluh tahun berjalan krisis moneter melanda Bangsa Indonesia, namun sampai dengan saat ini nampaknya kehidupan Bangsa Indonesia tidak bertambah baik, bahkan masalah yang dihadapi masyarakat semakin bertambah kompleks. Berawal dari krisis moneter lalu berkembang menjadi krisis multidimensi yang tidak bisa dielakan lagi. Berkenaan dengan itu kehidupan masyarakat Indonesia pun turut berubah, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, akhlak maupun sosial budaya. Perubahan yang paling dominan dalam masyarakat Indonesia adalah perubahan dibidang akhlak dan sosial budaya. Sering kita saksikan di Televisi berita-berita yang dulu jarang kita saksikan di negeri ini, seperti penyebaran Narkoba oleh pelajar, maraknya VCD dan gambar porno yang dilakukan oleh kalangan pelajar, traffiking, pelecehan sexual yang dilakukan antar pelajar bahkan dengan gurunya sendiri, tawuran antar pelajar dan lain-lain berita yang sering kita saksikan setiap hari di Televisi. Begitupun yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita, gotong royong, bahasa kromo inggil, budaya ketimuran nampaknya sudah terjadi pergeseran. Kenapa semua itu bisa terjadi pada saat reformasi digulirkan? Apakah guru-guru kita kurang berkwalitas tingkat kependidikannya? Atau apakah mungkin guru-guru kita sangat rendah sekali moralnya, sehingga sangat kesulitan bagi para pelajar, guru yang mana sebenarnya yang harus diteladani? Sering kita jumpai Sekolah yang mempunyai peraturan sangat ketat, tetapi peraturan itu sedikitpun tidak berdampak positif bagi siswanya. Misalnya Sekolah melarang merokok. Ternyata ketika di luar Sekolah siswa merokok karena melihat guru panutannya itu merokok. Atau mungkin Sekolah melarang siswanya tawuran, tetapi ternyata ketika mereka pulang sekolah melihat tayangan TV para pejabat dan wakil rakyatnya tawuran, maka mereka-pun ikut tawuran. Inilah pertanyaan dan hal-hal yang selalu muncul di tengah masyarakat kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari bertanya kepada hati nurani kita masing-masing. Sebab yang paling tahu jawabannya adalah hati nurani. Setiap kali kasih dan sayang dinodai, kejujuran dilecehkan, tanggung jawab diabaikan, disiplin dipermainkan, kerjasama diacuhkan, keadilan tidak ditegakkan, kepedulian tidak dihiraukan, kedamaian tidak dijunjung tinggi dan kesucian dikotori, maka pasti setiap hati nurani manusia tidak akan menerima atas perlakuan tersebut. Karena sifat-sifat tersebut merupakan suara hati manusia yang paling dalam (fitrah), yang dalam istilah Ary Ginanjar Agustian disebut God Spot. Sifat-sifat baik itulah yang kini nampaknya mengalami krisis di kalangan para penyelenggara pendidikan di negeri ini.

Pada tulisan sederhana ini Penulis berusaha menawarkan kepada para penyelenggara pendidikan suatu konsep pendidikan akhlak (sebut saja moral) yang sudah teruji keberhasilannya, agar diterapkan di Sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.

Diantara konsep pendidikan akhlak (moral) yang ada, hanya konsep pendidikan akhlak pesantrena yang ditulis oleh al-Zarnujiy yang masih tetap eksis keberadaannya di Indonesia ini khususnya di Jawa. Konsep pendidikan al-Zarnujiy yang dimuat dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” diajarkan di Pesantren Salafiyah sejak ratusan tahun yang lalu. Dan ternyata out put dari konsep pendidikan ini sukses. Para santri yang mempelajari kitab ini bukan hanya menjadi santri yang berakhlakul karimah terhadap gurunya, orang tuanya, keluarganya, juga teman-temannya dalam pergaulan, tetapi juga menjadi santri yang taqwa kepada Allah, berguna bagi keluarganya, nusa, bangsa dan agamanya. Sehingga tidak jarang para alumni Pesantren Salafiyah yang dulunya mempelajari konsep pendidikan al-Zarnujiy ini, ilmunya benar-benar bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat sekitarnya, kapan dan dimanapun mereka hidup.

Oleh karena itu atas keberhasilan konsep ini, sampai saat ini diberbagai Pesantren Salafiyah, kitab “Ta’lim al-Muta’allim” menjadi kitab wajib yang harus dipelajari oleh santri baru. Karena dengan doktrin-doktrin yang ada dalam kitab ini, seorang santri menjadi disiplin, taat peraturan, bisa bergaul dan akan istiqomah dalam beribadah kepada Allah SWT. Namun jangan lupa bahwa seluruh doktrin yang ada dalam kitab ini sesungguhnya merupakan konsep. Sebuah konsep biasanya dibuat karena berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu. Konsep masa lalu ada kalanya cocok dipakai sekarang dan ada kalanya tidak cocok dipakai sekarang. Maka pantas kalau dulu KH.DR.Sayid Aqil Sjiraj, MA (kang Said) pernah berpendapat bahwa siapapun tidak boleh mengkultuskan kitab Ta’lim al-Muta’allim.

Kalau kita melihat pada realitas pendidikan di sekitar kita dewasa ini, apalagi pendidikan akhlak (moral), sangatlah mengenaskan, kering dari konsep morality ilahy. Sedangkan bidang materialistis yang diharapkan berhasil dari lulusannya, ternyata hanya sukses dari segi materi. Sehingga tidak heran kalau di Indonesia ini mengalami krisis yang sangat menyakitkan ini. Hal ini tidak lain hanya kerena terjadi krisis moral pada setiap individu kita. Baik dari lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis umum atau yang berbasis keagamaan.

Kita tidak kesulitan menemukan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (seperti pesantren atau sekolah-sekolah yang nota-bene di bawah naungan Depag: UIN, IAIN, atau STAIN) secara etika sangat memalukan, karena tidak sedikit orang yang bertitel tokoh agama atau profesor dan doktor dalam bidang keagamaan, bahkan orang yang hidup di lingkungan pendidikan agama dan keagamaan, tidak punya rasa malu melakukan korupsi. Begitu juga tidak repot kita dapatkan lulusan lembaga pendidikan yang berbasis umum (seperti UI, UGM atau yang lain) dengan profesi sebagai dokter, insinyur, bangkir, bisnisman, atau lainnya yang tidak kalah memalukan, tapi kerap kali ulah mereka jarang dideteksi karena mereka sudah tidak asing dengan permainan angka.

Hal ini semua karena terjadinya krisis akhlak (dekadensi moral), karena krisis akhlak adalah asal terjadinya segala krisis di Indonesia kita ini. Maka Penulis meyakini, konsep pendidikan yang berdasarkan akhlak-lah yang bisa menjadi solusi utama untuk bisa mengikis habis segala krisis tersebut. Dan konsep pendidikan akhlak al-Zarnujiy ini patut dijadikan alternatif untuk hal tersebut. Karena konsep al-Zarnujiy sangatlah komprehensif, tidak mengedepankan akhlak yang vertikal (Illahiyah) atau horizontal (Insaniyah dan Khalqiyah) saja, melainkan memposisikan keduanya dalam posisi yang sebanding. Karena, kalau krisis yang multi ini hanya diselesaikan dengan usaha yang vertikaly (Illahiyah), hanya dengan istighatsah, dzikir, majlis ta’lim, atau renungan-renungan kalbu saja, hal itu hanya akan membuat impoten dan mandul saja. Begitu pula, kalau hanya diselesaikan secara horizontaly (insaniy dan khalqiy) maka yang didapat hanyalah kering dan kosong). Sedangkan solusi yang paling tepat adalah penggabungan dua arah tersebut, sehingga terjadi keseimbangan (balance). Dan akhirnya kita hanya bisa berdo’a Allah SWT sebagai Dzat yang paling berotoritas atas segalanya yang ada, dimanapun, dan kapanpun, : Allahumma ahsin khuluqiy kama ahsanta khalqiy”.

Demikian mudah-mudahan konsep ini bisa dijadikan alternatif untuk diterapkan bukan hanya di Pesantren atau Sekolah-sekolah yang berbasis agama tetapi juga di Sekolah-sekolah yang berbasis umum. Semoga krisis ini segera berakhir. Amiin

Mursana, M.Ag.: Ketua Pokjaluh Kandepag Kab. Cirebon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar