Jumat, 21 Agustus 2009

MEMELIHARA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA1

Oleh : Mursana, M.Ag. 2

Kita menyadari bahwa, menciptakan suatu negara yang adil, aman dan sejahtera, bukan merupakan sesuatu yang mudah, akan tetapi diperlukan berbagai upaya baik supra struktur maupun infra struktur, dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, sehingga berbagai polarisasi kepentingan masing-masing kelompok dapat dieliminir dan diminimalisasi, sehingga tercipta suatu tatanan yang dapat dijadikan perekat sebagai sebuah ‘nation’.

Dalam suatu negara yang berbhinneka semacam Indonesia, maka harus disadari bahwa keanekaragaman itu merupakan realitas dan keniscayaan yang harus diterima sebagai anugerah untuk disyukuri. Walaupun pluralitas di satu sisi mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat menimbulkan konflik baik horizontal maupun vertikal yang dapat menggerogoti tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada aspek lain, sesungguhnya pluralitas mengandung potensi yang dapat memberikan kontribusi positif dalam perjalanan kehidupan berbangsa, dengan meramu dan mengembangkan nilai-nilai keanekaragaman itu sendiri menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa, yang dapat mengakomodir berbagai kekuatan yang ada dalam membangun bangsa (nation building) dengan mengendapkan nilai-nilai persamaan dan menghargai perbedaan sebagai sunnatullah, dalam bingkai nilai keikaan dan suasana demokratis.

Apabila kita melihat ke belakang, di mana sejarah mengukir dengan tinta emas, di negeri yang terhampar ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke bagaikan mutiara mutu manikam yang berkilau memantulkan kesuburan dan beraneka suku bangsa, ras dan golongan, dapat hidup rukun dalam kebhinnekaan, dalam membangun kebersamaan dalam prospektif kehidupan, dalam suasana damai untuk saling bagu membahu membangun bangsa, disertai suasana demokratis, dengan hidup menghargai dan menghormati setiap perbedaan.

Negara-negara lain pernah mengacungkan jempol atas prestasi dan apresiasi terhadap apa yang diraih dalam membangun dan mengelola kebersamaan dan kerukunan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu.

Kecuali itu, negara lain datang untuk menimba pengalaman untuk kemudian dijadikan rujukan dalam pembinaan kerukunan umat di negarannya masing-masing. Mereka terkesima, seakan tak percaya, nusantara yang ber-bhinneka ini dapat terjalin keikaan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Yang datang bukan hanya pemimpin negara dan pemerintahan, bahkan tokoh dan pemuka agama mereka datang berkunjung menimba pengalaman.

Tapi, kenyataan akhir-akhir ini mencengangkan semua pihak, mereka mulai mempertanyakan. Kenapa dan mengapa ?, sebab indonesia yang dulu mereka kenal sebagai bangsa yang menghargai setiap perbedaan, hidup dalam suasana rukun dan damai, karena lebih menonjolkan faktor kultur, faktor leluhur dan primordialisme lainnya.

Kita tentu tidak dapat menutup mata begitu saja, terhadap berbagai kejadian dan peristiwa kemanusiaan yang merendahkan martabat bangsa, sehingga menyandang gelar negatif, ekstrimis, radikalis, anarkhis dan teroris, dengan munculnya berbagai konflik diberbagai belahan nusantara meskipun pelan namun harus pasti dapat diselesaikan secara humanistik, demokratis, adil dengan menghargai keberadaan masing-masing sebagai salah satu komponen yang komplementer dalam sebuah bangsa. Kasus ambon yang dianggap selesai namun meletup kembali, aceh yang masih belum tuntas, papua yang baru-baru ini mencoba mengibarkan bendera bintang kejora.

Kita berharap pada akhirnya dapat menginternalisasikan kebhinnekaan itu menjadi kesadaran menuju tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga di wilayah Cirebon dan di tatar pasundan ini tidak demikian.

Dalam konteks pembinaan kerukunan umat beragama, termasuk di dalamnya kerukunan antar kelompok dalam agama tertentu banyak hal yang harus dicermati, baik aspek politik, hukum, ekonomi, keadilan dan kesenjangan lainnya. Yang tidak kurang penting juga adalah karakter dasar dari agama-agama, yakni sifat ambivalensi agama itu sendiri. Disatu pihak, agama memiliki daya dorong (vitalitas) yang luar biasa terhadap bangsa untuk menciptakan peradaban, sedangkan di lain pihak sepertinya membuat peradaban mundur. Sesunguhnya mundurnya peradaban, bukan karena faktor ajaran dan nilai agama yang dianggap sudah tidak relevan lagi dalam suatu kurun waktu, akan tetapi lebih dimanipulasi oleh umatnya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau suatu rezim. Bila demikian yang terjadi, maka akan terlahir ketidak adilan sebagai sumber konflik yang sering mengkristal menjadi sebuah kerusuhan yang anarkhis dan bahkan menimbulkan peperangan antar suku. Dua penyakit sosial bawaan bagi peradaban adalah, perang dan ketidak adilan. Padahal seyogyanya agama harus menjadi perekat spiritual yang menyatukan masyarakat beradab untuk sepanjang waktu, namun vitalitasnya digerogoti oleh dua penyakit yang menakutkan itu.

Departemen agama yang mengemban tugas negara untuk membina kerukunan umat beragama dituntut untuk menjembatani berbagai upaya agar terbangun suasana kebersamaan dan kerukunan hidup umat beragama, dengan berpegang prinsip, pertama, memantapkan nilai religius, memantapkan nilai kebangsaan dan memupuk nilai akhlakul karimah.


1. Disampaikan dalam kegiatan Orientasi Pembauran Bangsa bagi Pelajar SMA se- Kab. Cirebon, 03 Agustus 2007.

2. Penyuluh Agama Islam Kecamatan Plumbon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar