SEBAGAI
DOKTER RUHANI
Oleh: Didin Fahrudin, S.Sos.I.
Penyuluh
Agama Islam Kecamatan Astanajapura
Banyak
kalangan masih menganggap bahwa kondisi
masyarakat kita masih dalam keadaan sakit, masih dalam keadaan krisis, terutama
krisis akhlaq, krisis moral dan krisis budi pekerti. Kasus-kasus kriminalitas
yang ramai diberitakan media, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan,
perselingkuhan, penyalahgunaan narkoba, tawuran, minuman keras, dan korupsi
menghiasi pemberitaan baik itu di media massa cetak maupun elektronik.
Indikator inilah yang membuat beberapa
kalangan meyakinkan dirinya bahwa, masyarakat kita masih belum sehat wal afiat.
Sehari-hari kita mengunakan istilah
sehat wal afiat untuk menyebut kondisi kesehatan yang
prima. Tetapi jika kita
merujuk kepada
asal istilah itu yakni
“as shihhah wa
al
`afiyah” disitu ada dua dimensi
pengertian. Kata Sehat merujuk pada fungsi, sedangkan kata afiat merujuk kepada kesesuaian dengan maksud penciptaan. Mata
yang
sehat adalah mata yang
dapat digunakan untuk melihat
tanpa alat bantu, sedangkan mata yang
“afiat” adalah mata yang tidak bisa
digunakan untuk melihat
sesuatu yang dilarang melihatnya, karena
maksud Tuhan menciptakan
mata adalah sebagai penunjuk pada kebenaran, membedakannya dari yang salah. Tangan
yang
sehat adalah tangan yang mudah digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang halal,
sedangkan tangan yang “afiat”
adalah tangan yang
tidak bisa digunakan untuk mengerjakan melakukan sesuatu yang diharamkan, karena maksud diciptakan tangan oleh Tuhan adalah untuk
berbuat baik dan mencegah kejahatan. Telinga
yang sehat adalah
yang fungsi pendengarannya berjalan,
sedang telinga yang “afiat”
adalah yang selalu terbuka
terhadap kata-kata kebenaran tetapi
tuli terhadap bisikan yang menyesatkan. Demikianlah makna
sehat dan “afiat” bagi hidung, tangan, kaki hingga kepada organ
yang
paling vital. Suami yang perkasa
di rumah saja adalah suami yang sehat
wal afiat, tetapi yang perkasa
juga
di luar rumah adalah suami yang sehat
tetapi tidak afiat. Jika bidang kesehatan merupakan
urusan dunia kedokteran, maka bidang keafiatan merupakan urusan dunia nilai,
dunia mental dan spiritual, dengan kata lain ke”afiat”an
menggunakan pendekatan agama.
Bila para dokter adalah orang yang berperan
dalam urusan kesehatan, maka siapakah yang seharusnya berperan dalam urusan ke”afiyat”an
ini? Siapakah kiranya orang yang bisa berperan aktif dalam urusan pembinaan
mental spiritual? Sebagai warga Kementerian Agama, tidak salah rasanya bila
kita merujuk kepada Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 791 tahun 1985, mengenai
yang dimaksud dengan Penyuluh Agama adalah : “Pembimbing
umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan Penyuluh Agama Islam, yaitu pembimbing umat
Islam dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, Allah SWT, serta menjabarkan segala aspek pembangunan melalui pintu dan
bahasa agama”
Sedangkan
penyuluh agama yang berasal dari PNS (sebagaimana yang diatur dalam keputusan
MENKOWASBANGPAN NO. 54/KP/MK.WASPAN/9/1999), adalah : “Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas
dan tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwenang untuk
melaksanakan bimbingan atau penyuluh agama dan pembangunan kepada masyarakat
melalui bahasa agama”.
Dengan
demikian, peran penyuluh agama Islam yang pertama adalah sebagai juru penerang,
penyampai pesan, mengenai prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang
baik. Kata penyuluh disini, mengandung arti “penerangan”, maksudnya, penyuluh
agama memiliki tugas dan kewajiban menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
agama, hukum halal haram, cara, syarat dan rukun dari suatu pelaksanaan ritual
tertentu, pernikahan, zakat, keluarga sakinah, kemasjidan dan lain sebagainya. Dalam
posisi ini, seorang penyuluh harus mampu menjadi seorang penyampai pesan-pesan
ilahi. Maka jadilah penyuluh itu seorang penceramah, muballigh, da’i, atau
khatib. Oleh karenanya kemampuan berorasi dan retorika, menjadi sangat krusial
untuk dimiliki oleh seorang penyuluh. Dan yang tidak kalah penting, tentu
seorang penyuluh harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan pemahaman mendalam
tentang ajaran agama Islam.
Kedua,
penyuluh agama Islam bisa berperan sebagai konselor, yang memberikan bimbingan
(konseling) kepada masyarakat. Berbeda dengan peran juru penerang yang
cenderung menggunakan pendekatan komunikasi massa, maka sebagai konselor,
penyuluh lebih menggunakan pendekatan komunikasi interpersonal. Sebagai seorang
konselor, penyuluh menjadi tempat bertanya, mengadu, konsultasi atau dalam bahasa
populernya “curhat”. Zaman modern yang serba canggih dengan segala
pernak-pernik teknologi mutakhir berlangsung sangat cepat dan praktis melanda
seluruh lapisan masyarakat. Sementara kesiapan mental manusia tidak sama dalam
menghadapi perubahan zaman. Ketidak
seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan
kejiwaan, dan banyak orang
terkungkung dalam kerangkeng manusia modern, manusia yang sudah kehilangan makna, resah setiap kali harus mengambil
keputusan bahkan tidak tahu apa yang diinginkan.
Ciri-ciri gangguan kejiwaan manusia modern adalah dimulai dengan mengidap kecemasan, disusul merasa kesepian,
kemudian mengidap kebosanan dan ujungnya adalah perilaku menyimpang,
berperilaku anarkis dalam semua bidang,
di rumah, di jalanan, di tempat kerja, di
universitas bahkan di parlemen. Dan
hal ini bukan hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, namun sudah melanda
hampir semua lapisan masyarakat.
Dikalangan
masyarakat terpelajar perkotaan
sudah dikenal adanya layanan
konseling, karena pasarnya ada. Orang terpelajar secara sadar mencari
solusi problemnya dengan mencari konselor, sementara orang awam tidak
tahu persis apa problemnya, dan tak tahu juga harus kemana. Namun
demikian
bukan berarti masyarakat awam tidak
mengenal terapi yang bernuansa psikologi. Di kalangan masyarakat santri, orang yang mengalami problem kejiwaan
biasanya pergi kepada
kyai, dan kyai memberikan layanan
yang
bernuansa psikologis, tetapi bukan
berbasis psikologi, yakni
berbasis akhlak dan tasawuf. Sebagaimana
diketahui dalam sejarah keilmuan Islam tidak muncul
ilmu
semacam psikologi yang berbicara tentang tingkah laku. Jiwa
dalam sejarah keilmuan
Islam dibahas dalam ilmu akhlak
dan ilmu tasawuf. Apa yang dilakukan oleh para kyai barangkali memang tidak ilmiah, tetapi tak terbantahkan, dan justru banyak yang bernilai tepat guna, karena sesuai dengan kejiwaan ummat/masyarakat yang masih berpola pikir sederhana.
Disinilah
penyuluh agama Islam bisa memposisikan dirinya sebagai konselor, yang memadukan
antara pengetahuan psikologi ilmiah dengan teori-teori agama Islam tentang
akhlak dan tasawuf. Konseling
Islam yang dilakukan penyuluh adalah
menggunakan getar iman (daya rohaniah) dalam mengatasi problem kejiwaan. Oleh karena itu maka terapi sabar, tawakkal, ikhlas,
itsar, sadaqah, ridla, cinta, ibadah, suluk, zikir, jihad dan lain-lainnya digunakan sesuai dengan problemnya.
Dari
dua peran penyuluh yang telah penulis ungkapkan diatas, maka menjadi penting
pula bahwa Penyuluh agama Islam harus berperan sebagai uswah hasanah,
contoh atau teladan yang baik. Artinya, selain berdakwah bil lisan,
penyuluh juga harus berdakwah dengan perilakunya, bil haal. Inilah
tantangan buat penyuluh, dan juga bagi mereka-mereka yang menjadi penyeru
terhadap kebajikan. Bukankah dalam Q.S. Ash-Shaff: 3 “Kabura maqtan
‘indallahi an taquuluu maa laa taf’aluun” ? Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan..? Maka tepat
rasanya ungkapan “ibda binafsika”. Sebelum mengajak orang lain, maka
alangkah eloknya bila sang penyuluh sendiri telah melaksanakannya. Inilah
kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan, sebagaimana salah satu kunci
sukses dakwah Rasulullah SAW dalam mengemban risalahnya adalah karena adanya
kesesuaian antara perkataan dengan perbuatannya.
Wallahu
‘alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar