Selasa, 25 Agustus 2009

KHUTBAH nikah

KHUTBAH nikah

H. Mulyadi Rumin, S.Pd.

dengan adinda Aliet Noorhayati Sutisno, S.Phil.I..

( Cirebon, 09 Mei 2009 )

Oleh :

Mursana, M.Ag




DEPARTEMEN AGAMA

KANTOR KABUPATEN CIREBON

Jalan Sunan Drajat No. 5 Telp. (0231) 321254 Fax ( 0231 ) 325405

Kompleks Perkantoran Sumber 45611

SEKSI PENAMAS

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله رب العالمين نحمده ونستعينه ونستغفره ونعود بالله من شرور انفسنا وسيئات اعمالنا من يهدالله فلامضل له ومن يضلل فلاهادي له أشهدأن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهدأن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله وأصحابه اجمعين وقال تعالى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وقال تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وقال تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال النبي صلى الله عليه وسلم: تزوجواالنساء فانهن ياتينكم بالمال وقال النبي صلى الله عليه وسلم: الدنيا متاع وخير متاعها المرءة الصالحة

Alhamdulillah dengan izin Allah swt. Kita semua sekarang bisa berkumpul di Tempat yang mulya ini dalam rangka menyaksikan berlangsungnya upacara walimatul ‘urusy antara adinda H. Mulyadi Rumin, S.Pd. bin Bapak H.Rumin (alm) dari Tegalwangi dengan adinda Aliet Noorhayati Sutisno, S.Phil.I. binti H.Eno Sutisno Narwan dari Cirebon.

Upacara akad nikah yang akan segera kita saksikan bersama adalah merupakan satu bukti kalau kedua calon penganten itu sangat menjunjung tinggi ketaatan kepada Syari’at Islam, suatu tuntunan dan pedoman yang digariskan oleh Allah Swt. dan RasulNya nabi Muhammad Saw.

Hadhirin wa hadhirat para tamu undangan rahimakumullah

Perlu diketahui bahwa pernikahan adalah salah satu ibadah yang mempunyai sifat, tujuan, dan hakekat yang sangat mulya. Walaupun hukum pernikahan untuk kaum pria yang sudah baligh, dewasa ada 5 alternatif, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah, tetapi karena melihat betapa pentingnya pernikahan bagi kaum pria yang sudah ada ikatan, rata-rata hukumnya wajib. Oleh karena itu ada 3 syarat yang jadi pegangan, yaitu: 1) mampu menanggung kewajiban rumah tangga, termasuk memberi nafkah lahir dan batin. 2) tidak akan melakukan kekerasan/kekejaman kepada seorang istrinya (KDRT), 3) merasa yakin akan jatuh ke dalam jurang kemaksiatan bila tidak segera menikah

Adinda H.Mul dan Aliet yang berbahagia

Ibadah Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral (suci), tidak sekedar hanya untuk bersenang-senang dan pelengkap hidup seseorang. Oleh karena tidak layak apabila ibadah yang satu ini dibikin permainan atau sekedar main-main saja. Dengan demikian khatib mengajak kepada kedua calon mempelai agar meluruskan niat karena Allah. Niatkan dalam hati kalian berdua bahwa pernikahan adalah ibadah yang disyari’atkan Allah dan RasulNya. Insya Allah dengan niat yang ikhlas, segala beban permasalahan kehidupan rumah tangga, baik yang dianggap menyenangkan maupun yang dianggap menyusahkan kalian berdua, akan menjadi kenikmatan sendiri. Logikanya adalah kalau sesuatu yang menyusahkan saja nikmat, apalagi sesuatu yang menyenangkan.

Adinda H.Mul dan Aliet yang berbahagia

Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, yaitu keluarga yang bahagia, tentram lahir-batin, dan dipenuhi saling cinta dan kasih sayang antar mereka. Sebagaimana Allah berfirman di dalam alQur’an:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs.Ar Ruum:21)

Untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, paling tidak ada 5 syarat yang harus dipenuhi. Ke 5 syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Suami dan Istri harus rajin mempelajari Ilmu Agama

Dalam UU. Perkawinan 1974 dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu suami-istri harus saling melengkapi dan saling membantu setiap kekurangan masing-masing pihak. Disamping itu faktor ajaran Islam adalah unsur pokok yang paling penting dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia, sebab ajaran Islam memberikan petunjuk antara yang baik dan yang buruk, antara yang menguntungkan dan merugikan, yang akhirnya memberikan semacam pegangan dalam hidup dan kehidupan, bagaimana sikap jiwa sewaktu mendapat nikmat dan ketika mendapat musibah. Inilah pentingnya mempelajari ajaran Agama Islam.

Oleh karena itu sempatkan setiap hari untuk mempelajari Islam, baik melalui pengajian di Majlis ta’lim, ceramah-ceramah agama di radio, TV, atau membaca buku-buku Agama. Sebab semakin banyak mempelajari Ilmu Agama, maka semakin dewasa pula dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

2. Mengutamakan Akhlak dan kesopanan

Unsur kedua rumah tangga bahagia itu ialah terciptanya hubungan yang harmonis sesama keluarga, antara suami-istri, antara anak-anak dengan orang tuanya, juga dengan masyarakat lainnya. Yang tua mengasihi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Suami menyayangi istrinya, dan Istrinya menghormati suaminya.

Sikap mengasihi dan menghormati ini digariskan oleh Rasulullah Saw. dalam haditsNya:

ليس منا من لم يوقر كبيرنا ولم يرحم صغيرنا

Tidaklah termasuk umat kami orang-orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, dan orang-orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda dari kami (HR.Ahmad dan Bukhori)

3. Harmonis dalam Pergaulan

Dalam rumah tangga bahagia, senantiasa tergalang pergaulan yang harmonis antara sesama keluarga. Semuanya menempatkan diri laksana awak kapal yang sedang mengarungi samudra luas dan penuh gelombang, masing-masing sejak dari kapten, awak kapal, penjaga mesin, dan tukang masak menjalankan tugas dengan gembira dan bertanggungjawab demi untuk keselamatan bersama.

Artinya adalah setiap anggota keluarga rukun dan mesra dan tidak saling curiga-mencurigai, salah-menyalahkan dsb. Apabila terjadi kericuhan dalam rumah tangga selalu diselesaikan dengan musyawarah secara kekeluargaan dengan menjauhkan akibatnya yang merupakan bom waktu dan dapat meledak sewaktu-waktu.

4. Hemat dan Hidup Sederhana

Unsur keempat ialah hemat dan hidup sederhana. Sebagaian besar kehancuran rumah tangga karena pemborosan dan keroyalan hidup, tidak berhemat, dan tidak memikirkan hari esok, tidak mengerti ada musim hujan dan musim panas.

Hawa nafsu ingin hidup mewah tidak seimbang dengan sumber yang ada, sehingga timbullah satu keadaan yang gawat di rumah tangga itu. Besar pasak daripada tiang. Ajaran Islam selalu memperingatkan supaya manusia hidup Qon’ah, yaitu merasa cukup dengan rizki yang ada, serta menyesuaikan dengan keadaan kita sendiri dan tidak perlu mencontoh orang lain.

5. Menyadari Kekurangan Sendiri

Unsur kelima dalam pembinaan rumah tangga bahagia ialah menyadari kekurangan sendiri. Banyak orang terlalu rajin melihat kekurangan orang lain, tetapi jarang sekali melihat kekurangan dirinya. Karena Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan; apabila setiap pemimpin rumah tangga menyadari ini sepenuhnya, maka dapatlah dihindarkan perasaan benar sendiri.

Itulah sebabnya ahli hikmah sering menasehati, agar setiap orang itu sering mengaca sendiri, supaya dia tahu dimana kelebihannya dan dimana kekurangannya. Apabila orang itu sudah menyadari dirinya, dia akan selalu mawas diri dan akhirnya berusaha memperbaikinya dan bertaubat. Dengan demikian smg perkawinan Adinda H.Mul dan Aliet akan tetap kekal selama-lamanya. Amiin

Jumat, 21 Agustus 2009

KONTROVERSI PERNIKAHAN DINI

Oleh Mursana

Jamaah Jum'at yang dimuliakan Allah SWT,

Marilah kita sama – sama meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT. dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad saw, kepada para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya

Jamaah Jum'at yang dimuliakan Allah SWT,

Pada pertengahan bulan oktober 2008 lalu negeri yang mayoritas umat Islam ini digemparkan dengan satu peristiwa yang sangat kontroversial, yakni pernikahan seorang pengusaha kaya raya asal Semarang, H. Pujiono Cahyo Widianto yang dikenal dengan sebutan Syeh Puji dengan seorang gadis baru lulus Sekolah Dasar yang bernama Lutfiana Ulfah (Ulfah). Berbagai media cetak dan elektronik ramai memberitakan kasus ini setiap saat, baik dalam berita resmi maupun dalam acara infotainment. Adapun yang menjadi pokok kontroversi pernikahan tersebut adalah karena Syeh Puji sang pemilik perusahan PT. Sinar Lendoh Terang (Silenter) dan Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Jannah telah menikahi Ulfah, seorang gadis yang masih muda belia berumur 12 tahun pada tanggal 8 Agustus 2008 lalu.

Peristiwa ini mendapat protes dari mana-mana. Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh KH.Amidhan, KH. Ikhwan syam, Ny.Hj.Khuzaimah memberikan komentar bahwa pernikahan ini harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan Kitab Fiqihnya orang Indonesia. Sementara Mentri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Komisi Nasional Perlindungan Anak memprotes pernikahan dini tersebut karena akan merampas hak kebebasan bermain, hak mendapatkan pendidikan, dan hak mendapatkan kesehatan reproduksi seorang perempuan yang dinikahinya. Belum lagi derasnya gelombang protes yang datang dari berbagi lapisan masyarakat baik dari kalangan cendekiawan, artis, ulama dan masyarakat lainnya. Tentu saja menanggapi hal ini ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju.

Jamaah Jum'at yang dimuliakan Allah SWT,

Secara bahasa kata Nikah berarti Kumpul/kawin (addhamu waljam’u), campur (alwath), dan ’akad (al’aqd), lihat KifayatulAkhyar II: 23. Menurut Ulama ahli hukum Islam (fuqaha) Nikah adalah suatu aqad untuk menghalalkan hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan memenuhi beberapa syarat dan rukun. Sedangkan menurut Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 1bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan pernikahan secara tersurat ada dalam alQur’an yakni ” dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS.Aruum:21.

Dari ayat di atas sangat jelas dan gamblang bahwa tujuan disyari’atkan pernikahan oleh Allah Swt. adalah supaya merasa tentram (sakinah) dan ada rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah) di antara suami dan istri. Bagi siapa yang sudah berumah tangga pasti akan bisa membedakan kehidupan sebelum berumah tangga dan sesudahnya. Kalau sebelum berumah tangga kehidupannya merasa tidak tenang, sedangkan setelahnya merasakan ketenangan, ketentraman, dan dipenuhi kasih sayang.

Islam mensyari’atkan pernikahan kepada umatnya agar keturunan (nasab) yang baik bisa tetap terjaga, terhindar dari perzinahan. Karena zina merupakan akhlak yang jelek bahkan sejelek-jeleknya akhlak, seperti kata firman Allah, ” dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu merupakan suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang sangat buruk”. QS.Al-Isra:32.

Jadi, betapa agung dan mulianya Islam sehinga demi melindungi umatnya agar derajatnya lebih terhormat dari pada binatang, memerintahkan umatnya untuk menikah. Bahkan Rasulullah Saw. mengancam, ”barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahKu (nikah),bukan termasuk golonganKu,”. alHadits.

Seputar Kontroversi

Syeh Puji merupakan putra asli Desa Bedono Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. Ia dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1965. Pendidikan formal yang ia tempuh terakhir sampai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Donbosco Semarang. Setelah tamat dari SPG, ia mencoba mengadu nasib di Ibu kota Jakarta. Di tempat ini ia bekerja serabutan, termasuk menjadi kuli bangunan, sebelum akhirnya sukses menjadi salesman buku-buku ensiklopedia. Pada awal 1990-an ia kembali ke kampungnya Bedono. Dengan bermodal Rp.460 juta yang dikumpulkan dari hasil kerja kerasnya, ia membuka usahanya di kampung halamannya yang sebagian besar warganya sebagai petani buah kelengkeng. Ternyata usahanya sukses sehingga ia menjadi orang yang paling kaya di wilayahnya.

Dengan kekayaannya itu ia ingin berbagi kepada sesama, sehingga pantas kalau ia pernah menikahi beberapa orang wanita. Termasuk terakhir ia menikahi Lutfiana Ulfa pada tanggal 8 Agustus 2008 lalu. Dia seorang gadis yang masih bauh kencur berusia kurang dari 12 tahun. Pernikahan ini banyak mendapat kritik dari berbagai pihak.

Adapun tujuan ia menikahi Ulfah adalah: 1) ingin menjadikan Ulfah sebagai General Manajer (GM) di perusahaannya kelak, 2) ingin berbagi rizki, 3) ia kagum kepada Ulfah bukan sekedar cantik tetapi juga karena dia termasuk gadis cerdas yang berbeda dengan gadis-gadis lain pada umumnya. Begitulah kata Syeh Puji yang ia ungkapkan dalam wawancara sebuah media.

Ketika berbagai kalangan memprotes tindakan Syeh Puji karena menikahi seorang gadis yang masih tergolong relatif masih anak-anak, ia menjawab dengan enteng bahwa yang dilakukannya itu merupakan ajaran agama. Sebab Rasulullah Saw. saja pernah menikahi Siti ’Aisyah ra., ketika itu dia masih berumur 6 tahun. Tentu saja alasan tersebut mendapat protes dari seorang Cendekiawan Muslim asal Kota bandung DR. Jalaluddin Rahmat, M.Sc. (kang Jalal). Menurut penelitiannya, bahwa Rasulullah Saw. menikahi Siti ’Aisyah ra. Pada waktu itu dia berumur 19 tahun.

Menurut Pengurus Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh KH. Amidhan, KH.Ikhwan Syam, dan Ny.Hj.Khuzaimah, bahwa pernikahan dini dalam kasus tersebut bertentangan dengan Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974. Menurut Amidhan, Undang-undang perkawinan adalah merupakan Kitab fiqih Nikahnya bangsa Indonesia. Karena Undang-undang tersebut adalah hasil rumusan para ulama dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia. Dengan demikian berarti melanggar Undang-undang berarti melanggar ketentuan agama juga.

Sementara menurut Mentri Negara Pemberdayaan Wanita DR.Meutia Hatta dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diketuai oleh Kak seto, bahwa kasus pernikahan Syeh Puji itu melanggar 3 Undang-undang, yakni: 1) Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, 2) Undang-undang Perlindungan anak, dan 3) Undang-undang ketenagakerjaan, karena dia masih kecil, otomatis belum siap untuk memikul pekerjaan yang berat, apalagi ditunjuk untuk menjadi GM. Dengan melanggar 3 Undang-undang tersebut berarti ia telah merampas hak kebebasan seorang gadis yang masih tegolong anak-anak. Hak kebebasan tersebut diantaranya ialah: Pertama hak mendapatkan pendidikan yang layak. Mestinya seorang gadis seusia Ulfah itu sedang menempuh pendidikan wajar dikdas 9 tahun (kelas 1 SMP), tetapi dia malah bertugas sebagai seorang istri yang selalu melayani suaminya. Kedua hak bermain. Usia 12 tahun adalah masih tergolong anak-anak yang merupakan masa-masa bermain, tetapi masa itu telah hilang karena dirampas. Ketiga hak mendapatkan kesehatan reproduksi. Menurut kesehatan bahwa setiap orang yang mengandung di bawah 20 tahun akan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Oleh karena itu perkawinan pada usia 12 tahun merupakan perkawinan yang beresiko tinggi bagi rahim seorang perempuan karena belum siap.

Tujuan Syari’at Islam

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh umat Islam hendaklah jangan melanggar tujuan syari’at (maqashidussyari’ah). Adapun tujuan syari’at Islam menurut ulama ushulfiqh ada lima, yakni; memelihara agama (hifdh addin), memelihara akal (hifdh aql), memelihara keturunan (hifdh nasb), memelihara harta benda (hifdh maal), dan memelihara jiwa (hifdh nafs).

Kasus pernikahan dini yang dilakukan oleh Syeh Puji apakah melanggar tujuan syari’at atau tidak?apakah pernikahannya itu melanggar ketentuan agama atau tidak?, apakah pernikahannya itu bisa menimbulkan stress,gila atau tidak?,apakah pernikahannya itu bisa melahirkan keturunan yang beresiko tinggi atau tidak?, apakah pernikahannya itu bisa menyelamatkan jiwa atau tidak? apabila pernikahan dini itu melanggar tujuan syariat maka sebaiknya dibatalkan saja, demi menjaga kemashlahatan. Tetapi jika pernikahan dini itu tidak melanggar tujuan syari’at, maka sebaiknya lanjutkan. Pokoknya mengindari kerusakan harus lebih didahulukan daripada mengambil kemashlahatan. Seperti kata kaidah ushul, ”dar-ul mafasid muqaddamun ’ala jalbil mashaalih”.

Menurut hemat penulis, kasus ini terlalu dibesar-besarkan. Padahal kasus ini merupakan kasus lama. Di sebagaian wilayah Cirebon juga ada satu daerah yang mempunyai tradisi pernikahan dini, tetapi biasa-biasa saja. Ditayangkannya kasus ini berkali-kali di media elektronik merupakan usaha pihak-pihak tertentu, agar ada kesan di kalangan masyarakat, setiap orang tua yang punya anak gadis jangan dipesantrenkan, nanti dinikahi Kyainya. Atau supaya ada kesan bahwa Kyai senang kawin- cerai. Masih banyak kasus lain yang lebih penting dari kasus ini dan butuh segera penanganan yang serius dari pemerintah, misalnya; harga BBM yang menyengsarakan rakyat, penyelesaian kasus korupsi, dan lain-lain. Demikian tulisan sederhana ini penulis paparkan semoga menjadi pelajaran, bahwa kalau ingin hidup tenang, tentram, dan bahagia hendaklah jangan melaggar rambu-rambu kebenaran. Ikuti segala petunjuk yang terdapat dalam kitab suci alQur’an, insya Allah akan selamat.

*Mursana,M.Ag.: Penyuluh Agama Islam Kec.Plumbon, Alumni Pesantren Darussalam Ciamis.

SPIRITUALISME HALAL BI HALAL

Oleh : Mursana, M.Ag


Konon tradisi halal bi halal yang dilakukan umat Islam Indonesia sudah berjalan sejak jaman dulu kala, namun tidak diketahui sejarahnya dari mana asal usul-usul kata ini popular ? Siapa yang paling pertama kali mempopulerkan istilah ini ? dan di mana istilah ini peretama kali diproklamirkan ? yang jelas, apabila selesai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan disempurnakan dengan zakat fitrah dan ditutup tanggal1 Syawal dengan sholat‘Idul Fitri dilanjutkan dengan acara halal bi halal. Acara ini dilaksanakan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Mulai dari kalangan pejabat, birokrat tingkat atas sampai tingkat bawah, masyarakat umum. Biasaya acara ini berlangsung sampai dengan akhir bulan Syawal. Modelnya bermacam-macam; ada yang mengundang muballigh, ada yang mengundang artis, bahkan ada yang cuma kumpul-kumpul biasa sambil ngobrol ngalor ngidul dan makan bersama antar keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar, lalu ditutup dengan salam-salaman; saling maaf memaafkan antar peserta halal bi halal. Yang pasti dalam acara tersebut terlihat suasana kekeluargaan, persaudaraan dan keakraban. Seolah-olah antar peserta tidak punya beban masalah apapun.

Menurut Quraish Shihab (1992:317), Halal bi halal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, diapit oleh satu huruf (kata penghubung) ba’ yang dibaca bi. Kalau kata majemuk tersebut diartikan seperti yang ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia, yakni “acara ma’af memaafkan pada hari lebaran,” maka dalam halal bi halal terdapat unsur silaturrahim.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, istilah kata tersebut berasal dari bahasa Arab, namun dalam masyarakat Arab Timur Tengah sebenarnya istilah itu tidak dikenal. Yang ada adalah istilah silaturrahim. Halal bi halal sesungguhnya adalah hasil kreasi umat Islam Indonesia sendiri dan telah menjadi perbendaharaan kata keagamaan serta telah melembaga di kalangan umat Islam Indonesia,walaupun istilah itu tidak ada yang tahu, sejak kapan, dimana asal usulnya, dan apa latar belakang istilah tersebut.

Apabila ditelusuri, istilah halal bi halal tidak ditemukan dalam Al Qur’an atau hadits suatu penjelesan tentang arti dan maknanya. Istilah tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia walaupun yang bersangkutan paham ajaran Islam dan bahasa Arab.

Tradisi halal bi halal di Indonesia merupakan altenatif pemecahan praktis dari kunjungan silaturrahim yang biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Dengan menghadiri acara tersebut yang diselenggarakan di suatu tempat, seseorang sudah dapat bersilaturrahim dengan banyak orang. Halal bi halal bersumber dari ajaran Islam tentang hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablum minan naas). Orang yang beriman harus dapat menempatkan dirinya sebagai orang yang bermanfaat bagi masyarakat dimanapun dia berada atau dengan kata lain orang yang beriman hablum minan Naas nya harus baik. Manusia yang terbaik menurut ajaran Islam adalah yang hablum minallah nya baik dan hablum minan Naas nya juga baik, ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya baik dan hubungannya kepada sesama manusia juga baik. Orang yang beriman harus mampu menjalin hubungan secara baik, karena manusia tergantung dari kedua hal tersebut.

Dalam Al Qur’an, dengan indah sekali diungkapkan tentang keharusan melaksanakan hubungan baik dengan Allah SWT dan menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan apabila kita tidak bisa melaksanakan hubungan keduanya, maka kita akan ditimpa musibah atau hinaan dimanapun kita berada. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an: “Mereka ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dengan manusia”. (Q.S. Ali ‘Imran:112). Jadi apabila seseorang itu hanya semata-mata hubungannya baik terhadap Allah SWT., tetapi putus hubungannya dengan sesama manusia, maka dia tidak akan terlepas dari derita (dzillah). Bila terjadi suatu ketegangan atau perselisihan antara sesama manusia karena adanya suatu hal yang kurang baik, maka sedikit banyak hal tersebut akan berpengaruh pada jiwa dan perasaan hatinya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang sudah mampu menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, tetapi putus hubungan baik dengan Allah SWT., maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari derita (dzillah), karena cepat atau lambat orang tersebut akan merasa dirinya atau dengan kata lain hidupnya akan menderita karena tidak memperoleh ketenangan hati. Sedangkan ketenangan hati merupakan bagian yang terpenting dari kebahagiaan hidup.

Nilai Spiritual Halal bi Halal

Manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa, seperti dikatakan dalam pepatah Arab, “Al-Insaanu Mahalul Khatha’ wan Nisyaan”. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, maka kadang-kadang ia menyakiti perasaan orang lain. Orang yang disakiti boleh jadi ia akan marah, dan bila marah telah menyelinap dalam hati seseorang, maka dengan demikian orang yang telah menyebabkan orang lain itu menjadi marah, laksana telah memutuskan hubungan persaudaraan dan hubungan kasih sayang sesama manusia atau dengan perkataan lain telah memutuskan silaturrahim yang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW. pernah mengancam orang-orang yang memutuskan silaturrahim, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan kekeluargaan (memutuskan silaturrahim)”. (HR. Bukhori dan Muslim).

Jika dikaji secara mendalam, tradisi halal bi halal akan menumbuhkembangkan nilai spiritual setiap individu. Adapun spiritualisme tersebut antara lain sebagai berikut :

Pertama : Halal bi halal merupakan wadah silaturrahim. Menurut Quraish Shihab, silaturrahim adalah kata majemuk yang diambil dari kata bahasa Arab; Shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang terputus dan yang terserak yang dituju oleh shilat itu. Sedangkan kata Rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Jadi silaturrahim adalah suatu aktifitas untuk saling menghubungkan atau menyambungkan tali persaudaraan/ kekeluargaan, sehingga menimbulkan kasih sayang seperti menyayangi anak kandung.

Banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang menganjurkan umat Islam agar gemar bersilaturrahim seperti tertulis dalam Kitab Subulus Salam:IV:160-162), diantaranya adalah Rasulullah SAW. bersabda : “Barang siapa yang menginginkan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka bersilaturrahimlah”. (HR.Bukhori). Hadits ini mengisyaratkan bahwa : a). Sesulit apapun rizki kita, asal mau bersilaturrahim, Allah pasti akan membukaan jalan keluarnya. Allah SWT akan memberi rizki orang tersebut dengan tidak disangka-sangka. Rizki itu bisa melalui orang yang disilaturrahimi atau mungkin dari tetangga masyarakat sekitar dan dari tetangga jauh. Yang namanya rizki bukan hanya uang, bisa juga berbentuk materi yang lain seperti pakaian, kendaraan, perhiasan atau mungkin makanan. Atau bisa juga rizki itu berbentuk kesehatan jiwa dan raga. Semua anugrah Tuhan untuk manusia itu disebut rizki. b). Orang yang bersilaturrahim akan dipanjangkan umurnya. Maksudnya orang yang sedang dililit masalah kehidupan yang sangat berat, sehinga dia psimis dan putus asa dalam menghadapi kenyataan hidup, setelah bersilaturrahim ada yang memberi spirit/nasehat, sehingga dia kembali semangat dalam hidup, seolah-olah dia hidup kembali. Di dalam hadits lain Rasulullah SAW. mengancam orang yang sengaja memutuskan silaturrahim, seperti dalam sabdanya, “Sesungguhnya rahmat Allah SWT. tidak akan diturunkan kepada suatu kaum yang di dalamnya ada yang memutuskan silaturrahim” ini berarti rahmat Allah SWT. sangat tergantung kepada silaturrahim.

Kedua : Halal bi halal sebagai wadah untuk saling memaafkan antar sesama. Saling memaafkan antar sesama merupakan sikap yang dianjurkan oleh Allah SWT. sebab dengan sikap tersebut, sikap dendam dan rasa marah dapat dihilangkan. Sifat dendam dan marah itulah sesungguhnya yang sering menyebabkan terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kekejaman. Oleh karena itu dengan mengedepankan sikap saling memaafkan (meminta dan memberi maaf), perbuatan tidak terpuji itu bisa dihindari. Memang diakui bahwa tidak semua dendam dan marah itu timbul akibat seseorang enggan meminta dan memberi maaf, tetapi yang jelas sikap enggan meminta dan memberi maaf dapat menimbulkan dendam dan marah seseorang. Selain itu, sikap saling memaafkan merupakan ciri orang yang taqwa. Oleh karenanya, orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain, nilai kepribadian dan ketaqwaannya sangat luhur. Itulah sebabnya sifat seperti itu senantiasa dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Allah, para sahabat utama Nabi Muhammad SAW, para ahli sufi dan orang-orang sholeh. Sikap tersebut juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW yang memberi maaf kepada penduduk Mekkah yang dulu memusuhi dakwahnya, menyiksa dan mengusirnya. Dengan sikap inilai satu persatu penduduk Mekkah masuk ke dalam Islam, hingga akhirnya seluruh penduduk Mekkah masuk Islam dengan berbondong. Demikian pula beliau senantiasa meminta maaf kepada para sahabatnya dan umatnya, walaupun mereka mengakui bahwa beliau tidak pernah berbuat salah terhadap mereka. Menjelang akhir hayatnya, beliau mengumumkan dihadapan para sahabatnya bahwa beliau meminta maaf kepada mereka dan menyampaikan kepada mereka bahwa siapa-siapa yang merasa disakiti atau tersinggung selama dalam kepemimpinannya agar mereka mengemukakannya dan mempersilahkan untuk menuntut balas kepada beliau. Maka pada akhir hayatnya beliau tidak meninggalkan kesalahan sama sekali bahkan beliau meninggal dengan penuh keharuman dan ditengah-tengah kecintaan umat yang amat dalam. Sikap pemaaf Rasulullah SAW. Juga diteladani oleh para sahabatnya dan orang-orang sholeh. Dalam hal sikap saling memaafkan, Allah SWT berfirman : “…. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S. Ali ‘Imran:134). Ayat ini menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, yang berarti sikap suka memberi dan meminta maaf/saling memaafkan adalah termasuk sikap orang yang bertaqwa. Namun yang masih kita prihatinkan hingga sekarang ini adalah ternyata masih banyak orang yang enggan memberi maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh orang lain, walaupun orang tersebut sudah bertaubat dan meminta maaf. Juga masih banyak orang yang tidak mau meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya kepada orang lain. Padahal jelas-jelas bahwa kesalahannya itu dilakukan olehnya. Akibat sikap enggan memberi dan meminta maaf itu, maka sifat-sifat dendam, marah, dan benci ada di masyarakat kita itu timbul akibat keengganan tersebut sulit dihilangkan. Akhirnya sifat-sifat tersebut merusak tali persaudaraan. Oleh karena itu melalui halal bi halal, mari buka dan lapangkan dada kita untuk saling memaafkan, hilangkang egoisme yang lainnya. Sesungguhnya sifat-sifat egoisme itu akan merendahkan dirinya, bukan sebaliknya. Sebaik-baiknya orang adalah oarng yang selalu merasa dirinya banyak salah, walaupun dia tidak melakukan perbuatan tersebut. Memang kalau menuruti dorongan nafsu bahwa meminta maaf itu berat, bahkan memberi maaf lebih berat lagi. Tetapi karena dorongan nurani, dorongan yang dipancarkan oleh Illahi, maka mau tidak mau, bisa tidak bisa, kita harus bisa membiasakan suatu sikap saling memaafkan antar sesama.

Demikian tulisan sederhana ini, semoga halal bi halal yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia semakin bertambah tahun semakin baik kwalitasnya. Nilai spiritual halal bi halal bukan hanya tumbuh ketika ’idul fitri tetapi juga tumbuh pada bulan-bulan lain, sehingga negeri ini menjadi negeri yang marhamah, suatu negeri yang tumbuh subur nilai-nilai kasih sayang dan saling memaafkan. Semoga.

Mursana, M.Ag. : Penyuluh Agama Islam Kec.Plumbon,

Alumni Pesantren Darussalam Ciamis

PUASA MELATIH KEPEKAAN HATI NURANI

Oleh : Mursana, M.Ag*


Ibarat tamu, Ramadhan adalah tamu agung yang sangat dinanti kehadirannya oleh sang tuan rumah, yakni kaum muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia. Dalam penyambutan tersebut, umat Islam melakukan persiapan-persiapan yang matang, baik yang berkaitan dengan pisik maupun mental. Maklum saja yang akan datang adalah tamu agung yang akan mukim satu bulan penuh. Jadi sang tuan rumah tidak mau mengecewakan tamu istimewanya tersebut.

Kenapa bulan Ramadhan disebut bulan istimewa? Berdasarkan hadits Rasulullah Saw., bahwa di dalam bulan Ramadhan terdapat tiga bagian, yaitu: bulan penuh Rahmat, bulan penuh Maghfiroh, dan bulan penuh Itqu minan Naar. Untuk mencapai rahmat (kasih sayang) Allah SWT. di sepuluh hari bagian pertama, dan mencapai maghfiroh (ampunan Allah) di sepuluh hari bagian kedua, serta mencapai Itqu minan Naar (pembebasan dari Jilatan Api Neraka) di sepuluh hari bagian terakhir, dibutuhkan keimanan yang istiqomah dan kerja keras yang ikhlas. Selama menjalankan ibadah puasa umat Islam dituntut agar mampu ber Imsak, yakni selalu berusaha keras agar mampu mengekang hawa nafsu dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dalam berpuasa, serta mampu melaksanakan amalan-amalan ibadah sunnah, seperti Tarawih, Witri, Rawatib, Dhuha, Shodaqoh, Tilawatil Qur’an, berdzikir dengan kalimat thoyibah yang dilaksanakan dalam waktu satu bulan penuh. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut dipenuhi oleh umat Islam, maka akan melahirkan kepekaan hati nurani pribadi-pribadi kaum muslimin dan muslimat yang pada akhirnya manjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah, La’allakum tattaquun. Amiin.

Kalau kita teliti dengan seksama, ternyata hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hajjatul Islam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat merangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk.

Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda,”Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”. Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah SWT. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak). Manusia yang punya hati nurani selalu memberikan hak yang menjadi hak orang lain. Siapapun dia apakah seorang Kepala Kantor, Kepala Dinas, Anggota DPRD atau bahkan seorang Presiden sekalipun. Jangan mentang-mentang dia sedang berkuasa, berbuat seenake udel, sehingga merampas sesuatu milik bawahan atau bahkan uang rakyatnya sendiri, dengan alasan sangat pribadi sekali, misalnya dia punya anak sedang kuliah yang membutuhkan biaya banyak atau alasan klasik, karena dia mau pensiun, lalu berbuat semaunya sehingga menerjang rambu-rambu agama, wal-wal keduwal aspal diuntal (istilah masyarakat Cirebon). Itulah bila hati sudah tidak nurani lagi, karena gelap, tertutup oleh berbagai kepentingan hawa nafsu.

Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.”

Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.

Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah SWT., menjadi orang yang berkuasa misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Illahi (Hidayah); menegakkan amanah propesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani berantas kemungkaran misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, ketika hati nurani tidak ada pada hati manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapat cahaya Illahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)

Pada tahun ini kita sempat tercengang dengan berita-berita yang sangat menusuk hati yaitu pada bulan Maret 2007 di Malang Jawa Timur dikejutkan dengan berita seorang ibu membunuh dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya. Pada bulan Mei 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta dikejutkan dengan berita seorang ibu dan anaknya membakar diri hidup-hidup sampai mati di rumahnya. Pada bulan Agustus 2007, seorang ibu membunuh anak tirinya “Rasnah” kelas 1 SLTP, dengan alasan anak tersebut tidak mau cuci piring, di Pare-pare Sulawesi Selatan, pada awal bulan September 2007, seorang ibu di Batam membunuh dua orang anaknya. Dan yang lebih ngeri lagi di Maumere Nusa Tenggara Timur, seorang bayi berumur sembilan hari dianiaya ibunya, karena tekanan ekonomi.

Berita-berita tersebut di atas menggambarkan bahwa apabila seorang manusia tidak bisa memfungsikan hatinya dengan baik sesuai dengan cahaya Illahi (tidak berhati nurani), mempunyai mata tidak bisa digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, tetapi tidak bisa digunakan untuk mendengarkan tanda-tanda kekuasaan Allah, maka bagi mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih jahat dari itu (baca : Q.S.7:179). Seekor induk Harimau atau Singa walaupun galak dan buas tidak akan pernah membunuh anak-anaknya. Tetapi manusia kenapa lebih buas dari pada seekor Harimau atau Singa, si raja hutan atau raja rimba? Jawabannya karena manusia seperti itu tidak mempunyai hati nurani, sehingga hilang sifat-sifat terpujinya seperti cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan lain-lain. Mereka bukannya tidak setuju dengan cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan lain-lain. Tetapi hati mereka itu tertutup belenggu/kepentingan, sehingga hawa nafsunya lebih dominan daripada suara hatinya (fitrah).

Begitu pula dengan berbagai peristiwa penyimpangan di negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, penjarahan, pengrusakan, pembakaran, pemerkosaan dan tindakan pengrusakan lainnya, merupakan akibat dari hati manusia yang telah gelap.

Solusi Islam

Ary Ginanjar Agustian seorang penulis Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual mengakatan bahwa ada tujuh faktor yang menjadi penyebab terbelenggungnya hati manusia, sehingga hati tersebut gelap, buta, tidak bisa melihat kebenaran nilai-nilai Illahi. Adapun ketujuh belenggu itu adalah:

1. Prasangka negatif (Su-ud zhonn).

2. Prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan.

3. Pengalaman yang membelenggu pikiran tidak merdeka.

4. Kepentingan hawa nafsu.

5. Sudut pandang yang picik.

6. Pembanding (merasa pikiran sendiri lebih baik dari pada yang lain)

7. Literatur yang mempengaruhi berpikir seseorang.

Islam sebagai agama Rahmatal lil’alamiin memberikan konsep ajaran puasa Ramadhan untuk menjernihkan hati dari belenggu-belenggu tersebut. Satu bulan penuh umat Islam dilatih untuk menjauhi dan menahan diri (imsak) agar tidak terikat oleh belenggu-belenggu tersebut yang akan menutupi hati nurani manusia.

Dalam keadaan lapar, haus, dahaga, orang yang menjalankan ibadah puasa akan terbuka hati nuraninya, sehingga akan muncul bagi orang yang berpuasa itu suara-suara keIllahian, seperti kasih sayang, kepedulian kepada sesama, disiplin, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, amanah dan lain-lain. Di samping puasa di siang hari juga disunnahkan Qiyamul lail, Istighfar, Dzikir, Shadaqoh dan amalan sunnah lainnya untuk lebih sempurna lagi proses penjernihan hati nurani.

Dengan demikian apabila latihan kepekaan hati nurani melalui ibadah puasa ini sudah berhasil dengan baik, maka untuk praktek kepekaan suara hati nurani dilakukan selama sebelas bulan ke depan. Kalau hal itu dilakukan dengan baik, maka berarti tercapailah tujuan puasa kita yaitu menjadi pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa. Semoga.

* Penyuluh Agama Islam Kec. Plumbon

(ALUMNI Pesantren Darussalam Ciamis)


Tatakrama Belajar Dalam Islam

Oleh : Mursana


Sejak manusia dilahirkan ke alam dunia, tak pernah luput dari dirinya hak dan kewajiban yang selalu menyertainya dalam mengarungi kehidupan di dunia. Salah satu hak dan sekaligus kewajiban yang manusia kerjakan adalah menuntut ilmu (belajar). Belajar merupakan hak yang patut dimiliki oleh manusia, karena dengan belajar manusia akan mendapatkan ilmu, di mana ilmu merupakan salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Adapun belajar dikatakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, karena tanpa belajar manusia tidak akan pernah dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang harus dia tunaikan di muka bumi ini. Bahkan bagi seorang muslim kewajiban belajar ini sangat ditekankan sekali, karena ada Hadist yang menerangkan bahwa ”Menuntut ilmu (belajar) itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (H.R. Ibnu Majah). Hadist itu wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin, karena merupakan suatu tuntutan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Yang patut kita turuti sebagai suatu bentuk ketaatan kita terhadap rasul setelah ketaatan yang dilakukan kita kepada Allah.

Dewasa ini kesadaran masyarakat untuk menuntut ilmu (belajar) sudah menunjukkan tanda-tanda yang cukup memuaskan, bahkan menuntut ilmu (belajar) di suatu lembaga pendidikan yang favorit sudah menjadi gengsi yang tinggi di kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah dan kelas atas. Melihat fenomena tersebut sangatlah dikhawatirkan tujuan dari pendidikan yang sebenarnya tidak bisa dicapai oleh anak didik, tetapi pendidikan nantinya hanya akan digunakan untuk menutupi rasa egonya yang tinggi. Bagi kalangan masyarakat muslim hal tersebut tidak boleh sampai terjadi, karena di dalam Islam terdapat suatu ajaran mengenai tatakrama dalam menuntut ilmu (belajar). (Al-Baqi : 1995)

Tatakrama Belajar Dalam Islam

Islam sebagai agama samawi yang terakhir, dikenal sebagai agama yang paling universal diantara agama-agama samawi lain yang ada sebelum Islam. Keuniversalan Islam dikarenakan ajarannya yang bersifat universal terhadap semua sendi-sendi kehidupan. Sehingga tatakrama dalam menuntut ilmu (belajar) pun ikut tercakup dalam ajaran Islam. Tatakrama menuntut ilmu (belajar) dalam Islam itu diantarannya:

1) Membetulkan Niat

Pertama kali yang diminta dari seorang pelajar khususnya dalam ilmu syara’ adalah membetulkan niat (Al-Zarnuji : tt). Ia harus siap mengusahakan dirinya dirinya ikhlas, meninggalkan motif-motif lain kecuali niat membaktikan ilmunya dalam rangka mencari ridha Allah Swt dan bekal untuk di akhirat. Ia tidak dibenarkan memasang niat untuk menandingi ulama atau “mengibuli” orang-orang bodoh, atau mengumpulkan harta, atau pangkat atau apa saja yang biasa dicari manusia berupa perhiasan dunia sehingga ia menjual yang kekal dengan yang fana, yang agung dengan yang hina, dan “harta” yang banyak dengan yang bernilai rendah. Kalaulah hal ini dibolehkan bagi orang yang berkecimpung dalam menuntut ilmu dunia, bagi mereka yang mencari ilmu akhirat tidak dibolehkan. Ada sebuah hadist shahih yang mengandung ancaman pedas terhadap orang-orang yang amalnya dirusak oleh ria, mereka dipindahkan dari kelompok mukhlishin dan shiddiqin (orang-orang ikhlas dan orang-orang benar) ke kelompok orang-orang ria dan pendusta. Orang-orang seperti inilah yang pertama menerima sengatan api neraka.

Sebagian besar pelajar dewasa ini berkecimpung di dunia pendidikan tidak dengan niat mencari ridha Allah dan untuk bekal di akhirat, tetapi mereka menerima pengarahan – sejak kecil – dari orang tua mereka agar memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran tertentu atau keseluruhannya.

Mereka digiring oleh situasi dan kondisi tertentu seperti tidak adanya fasilitas untuk mempelajari bidang studi apa saja sesuai dengan keinginan dan bakat si pelajar. Oleh karena itu, mereka tidak mau harus menerima yang ada, rela atau tidak rela. Kalau pada kenyataan, misalnya, mereka belajar di lembaga pendidikan agama, atau madrasah, sesungguhnya bila mereka disuruh memilih itu sekarang, mereka tidak akan memilih jalan itu. Ini berarti, belajar tanpa niat, karena si pelajar terpaksa atau dipaksa memilih itu tanpa adanya peluang untuk memilih. Padahal niat itu hanya ada pada bila adanya peluang pilihan.

Selayaknya yang sekarang ini sudah terjun ke dunia itu, hendaknya membetulkan kembali niatnya, memupuk niat yang jujur. Dengan begitu ia akan memperoleh ilmu yang dipelajarinnya – ilmu Al Qur’an, Sunnah, dan sebagainya. Sebagai ilmu yang dapat memberi kebaikan dalam hidupnya.

2) Kesinambungan Belajar

Ilmu itu bagaikan lautan yang tak berdasar dan tak bertepi. Setiap kali pelajar menyelami lebih dalam, dihadapannya terbuka pintu-pintu baru, tersingkap baginya kawasan yang sebelumnya tersembunyi. Kesemuanya menuntut pengkajian dan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan dituntut terus menambah ilmu. Dia harus belajar terus sepanjang hidup. Ilmu senantiasa membutuhkan pembaharuan dan pengembangan. Tidak ada suatu penjelasan lagi terhadap perintah kepada Rasulnya yang berbunyi: “Dan katakanlah, Tuhan tambahkanlah ilmuku.” (Thaha : 114). Al-Qur’an dan Rasulullah mengisahkan kepada kita Musa a.s dalam menuntut ilmu, melacak apa yang belum diketahuinnya kepada Abdullah al-Khidhr a.s (Al-Baqi : 1995).

Tidak disangsikan lagi, tersebar di kalangan kaum muslimin kata hikmah yang berbunyi: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur”. Adapula kata hikmah yang berbunyi: “Selagi orang mencari ilmu, ia tidak pernah merasa berilmu. Apabila ia berprasangka bahwa dirinya berilmu, berarti sesungguhnya ia bodoh”.

3) Sabar Menghadapi Ujian dalam Menuntut Ilmu

Salah satu etika orang belajar di dalam agama Islam adalah bahwa seorang pelajar harus menyiapkan dirinya menghadapi cobaan, mengisi siang dengan gadangan dan di malam harinya, bersabar menghadapi derita pengelana demi menuntut ilmu (Al-Baqi : 1995). Seorang pelajar pun harus memiliki mental Musa Kalimullah (orang yang diajak bicara oleh Allah) seperti terdapat di dalam Al-Qur’an dan dikemukakan pula oleh Rasulullah Saw. Musa kalimah mengelana guna mencari ilmu kepada seorang hamba bernama Khidhir a.s. Di dalam Al-Qur’an dikatakan : “Ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tak kan berhenti mengelana sebelum sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi : 60).

Salah satu jenis kesabaran yang terpuji dan harus dimiliki oleh seorang pelajar adalah kemampuan bersabar bersama guru (Santri Liboyo : tt). Ia harus mampu menerima dengan lapang bila gurunya adalah orang yang keras, mampu menerima kemarahan jika gurunya marah, ia pun harus menghormati gurunya yang sedang diam. Contoh terbaik untuk hal ini adalah Musa a.s. terhadap gurunya Khaidhir a.s. Musa a.s. memohon kepada Khidhir a.s. “Bolehkah aku mengikuti engkau agar engkau mengajariku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang diajarkan kepada engkau?” (Al-Kahfi : 66). Nabi Khaidhir a.s pun berkata, “Bagaimana mungkin engkau mampu bersabar atas sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara memadai?” Musa a.s. menjawab atas perkataan gurunya itu, “Engkau akan melihat diriku Insya Allah mampu bersabar, dan aku tidak akan melawan perintah engkau (keputusan engkau)”. Khidhir a.s. pun menjawabnya lebih lanjut, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah sekali-kali engkau tanya aku tentang sesuatu sebelum aku ceritakan duduk persoalannya kepada engkau” (Al-Kahfi : 66-70).

Inilah jenis kesabaran yang teguh lebih berat daripada kesabaran dalam pengenalan manapun, lebih berat daripada kefakiran. Oleh karena itu, Musa a.s. hanya mampu bersabar dalam batas tertentu yang cukup lama. Tetapi ia tidak bisa memperpanjang kesabaran lebih jauh lagi. Oleh sebab itu Khidhir a.s berkata kepada Musa a.s. “Inilah titik perpisahan antara aku dengan engkau. Aku akan ceritakan kepada engkau tafsiran hal yang engkau tak mampu manahan sabar.”

4) Menghormati Guru

Salah satu etika orang yang belajar yang dituntun oleh hadits nabi adalah menghormati guru sesuai dengan haknya. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya orang tua terhadap anaknya. Bahkan Yahya bin Mu’az mengatakannya, “Ulama (guru) lebih mengasihi umat Muhammad ketimbang ibu bapa mereka sendiri.” Ketika ditanya mengapa demikian, Yahya menjawab, “Karena ibu-bapak mereka hanya menjaga mereka dari api dunia, sedangkan ulama menjaga mereka dari api akhirat.” Berdasarkan alasan ini, menurut Al-Ghazali, hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua (Al-Zarnuji : tt). Orang tua adalah sebab lahirnya seseorang dalam kehidupan fana, sedangkan guru menjadi sebab seseorang berada dalam kehidupan abadi (akhirat). Guru (guru ilmu akhirat atau ilmu dunia yang bertujuan akhirat) adalah orang yang memberikan makna hidup di akhirat.

5) Baik dalam Bertanya

Bukan termasuk jenis penghormatan terhadap guru dan orang pintar dengan jalan tidak menanyannya dengan pertanyaan yang membuat susah dirinya karena malu. Ini sama sekali bukan termasuk malu yang dibenarkan syara’ yang sebagian daripada iman dan sama sekali tidak mendatangkan kebaikan, tetapi sebagai kelemahan dan kerendahan mental. Oleh karena itu Mujahid mengatakan, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan mempelajari ilmu. “Dalam hal rasa malu ini Aisyah r.a. berkata, sebagus-bagus wanita adalah wanita Anshar, rasa malunya tidak menghambat mereka untuk ber-tafaqquh (mendalami) agama” (Al-Baqi : 1995). Wallahu a’lam bishshawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Khadim alharamain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Saudi Arabiyah : Mujamma’ al malik Fahd, 1418 H.

2. Syekh Yusuf Muhammad al-baqi, Diwan As-Syafi’i, Makkah Almukarromah : Al Maktabah at-tijariyah, 1995.

3. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Darul Fikr, 1989

4. Al-Zarnuji, Ta’lim al muta’allim, Indonesia : Darul Ihya Arabiyah, tt

5. Santri Lirboyo, Kumpulan Sya’ir Ala-la, Lirboyo Kediri, tt